pembuktian terbalik
Pembuktian
Terbalik merupakan suatu jenis pembuktian yang berbeda dengan hukum acara
pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jenis
pembuktian ini mewajibkan Terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah atau membuktikan secara negatif (sebaliknya) terhadap dakwaan Penuntut
Umum.
Ini
sesuai ketentuan UU No 28/2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pasal 5 Ayat (3), yang menyebutkan,
”setiap penyelenggara negara berkewajiban untuk melaporkan dan mengumumkan
kekayaan sebelum dan sesudah menjabat”.
Pencantuman
kata ”setiap” pada pasal di atas menunjuk pada subyek, sedangkan pencantuman
kata ”melaporkan dan mengumumkan sebelum dan sesudah menjabat” merupakan
pantulan kewajiban yang mutlak dilaksanakan. Subyek hukum merupakan penyandang
hak dan kewajiban. Maka, di samping hak dasar yang melekat pada individu
aparat, ia juga berkewajiban mempertanggungjawabkan kewenangan yang ada
padanya.
Pengaturan
Pembuktian Terbalik Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan
Undang-undang No. 31 Tahun 1999
Tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hukum pembuktian
tindak pidana yang diatur dalam KUHAP dan bagaimana pengaturan pembuktian
terbalik dalam UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian
yuridis normatif disimpulkan :
1.
Sistem hukum pidana formil Indonesia khususnya KUHAP, beban pembuktian mengenai
ada tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa terletak pada Jaksa
Penuntut Umum. Konsekuensi logis dari beban pembuktian demikian maka Jaksa
Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara
akurat. Pembebanan pembuktian pada Jaksa Penuntut Umum hakikatnya merupakan
elaborasi dari asas hukum pidana umum bahwa siapa yang menuntut dialah yang
harus membuktikan kebenaran tuntutannya.
2.
Pengaturan tentang pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi menurut UU
No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi terdapat dalam Pasal 12Bdimana disebutkan antara lain bahwa
“gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi”; dan dalam Pasal 37 disebutkan bahwa ‘Terdakwa mempunyai
hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi'.
Hukum
harus bisa dijadikan sarana untuk memperbaharui dan memecahkan semua problem
yang ada di dalam masyarakat termasuk masalah kejahatan yang berhubungan dengan
korupsi. Salah satu hal yang harus diperbaharui adalah sistem hukum
pembuktiannya, yaitu dari sistem pembuktian yang konvensional menjadi sistem
pembuktian terbalik yang diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan baik
yang ada dalam undang-undang itu sendiri maupun yang ada dalam literatur/buku
ilmu pengetahuan hukum. Bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sampai saat
ini masih tetap terjadi. Dalam praktiknya Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001
belum efektif dalam memberantas tindak pidana korupsi. Untuk itu perlu
diterapkan pembuktian terbalik murni dengan menghindari timbulnya chaos
birokrasi. Dalam persidangan maupun putusan sangat jarang ditemukan adanya
pembalikan beban pembuktian. Undang-undang yang mengatur tentang pembuktian
terbalik juga terlalu banyak di politisi sehingga terkadang penyidik dan
Penuntut Umum tidak menerapkan dakwaan sebagaimana mestinya. Kelebihan dan
kelemahan adanya pembuktian terbalik dalam kasus korupsi menurut substansi dari
sistem hukum di Indonesia tidak mengatur secara tegas mengenai pembuktian
terbalik sehingga penerapan dari pembuktian terbalik tersebut tidak diterapkan
secara efektif. Kelebihan pembuktian terbalik hanya terletak pada kemampuan
terdakwa untuk membuktikan. Selain itu, terlalu banyak di politisi sehingga
aparat yang terlibat baik itu penyidik maupun penuntut umum tidak menerapkan
dakwaan sebagaimana mestinya.