Algoritma Politik
Sederhananya, algoritma adalah suatu langkah atau metode yang telah direncanakan secara matang agar berurutan dan tersusun rapi, serta sering digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah dengan memberikan petunjuk tindakan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, algoritma adalah prosedur sistematis untuk memecahkan masalah matematis dalam langkah-langkah terbatas. Selain itu, algoritma juga bisa diartikan sebagai urutan logis dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan masalah.
Aligaritma politik
Algoritma menciptakan opini manipulatif. Bahwa seakan-akan (subjek/objek) memang buruk di mata publik, tanpa ada persepsi yang berbeda. Kondisi ini tentu memicu polarisasi politik yang semakin meresahkan.
Beberapa sistem kecerdasan buatan (AI) dapat menampilkan bias algoritmik, yaitu sistem tersebut dapat menghasilkan keluaran yang mendiskriminasi orang secara tidak adil berdasarkan identitas sosialnya. Banyak penelitian mengenai topik ini berfokus pada bias algoritmik yang merugikan orang berdasarkan gender atau identitas rasnya. Masalah etika terkait sangat penting dan sudah diketahui dengan baik. Bias algoritmik terhadap aspek lain dari identitas sosial masyarakat, misalnya orientasi politik, sebagian besar masih belum dieksplorasi. Makalah ini berpendapat bahwa bias algoritmik terhadap orientasi politik masyarakat dapat muncul dengan cara yang sama seperti munculnya bias gender dan ras algoritmik. Namun, hal ini sangat berbeda dengan mereka karena (dalam masyarakat demokratis) terdapat norma-norma sosial yang kuat yang menentang bias gender dan ras. Hal ini tidak berlaku untuk bias politik. Dengan demikian, bias politik dapat mempengaruhi masyarakat dengan lebih kuat, sehingga meningkatkan kemungkinan bias tersebut tertanam dalam algoritma dan menjadikan bias politik algoritmik lebih sulit dideteksi dan diberantas dibandingkan dengan bias gender dan ras meskipun keduanya dapat menimbulkan dampak buruk yang serupa. Karena beberapa algoritma kini juga dapat dengan mudah mengidentifikasi orientasi politik masyarakat yang bertentangan dengan keinginan mereka, masalah ini menjadi semakin buruk. Bias politik algoritmik menimbulkan risiko besar dan khas yang harus diwaspadai dan diperiksa oleh komunitas AI.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan Greenhill dan Oppenheim (2017), kondisi ini membuat seseorang terjebak pada bias konfirmasi yang menjadikan seseorang percaya tentang informasi yang sesuai dengan persepsinya, tanpa memedulikan perspektif lain.
Fenomena ini merusak iklim demokrasi. Ini ditambah pasukan siber atau buzzer memanipulasi opini publik. Kondisi ini yang semakin memperkuat persepsi publik untuk menyukai atau membenci seseorang.
Ruang maya yang seharusnya membuat seseorang lebih bijak dalam mengambil suatu keputusan, malah jadi ruang gelap yang meniadakan perspektif lain. Pengawas pemilu harus memiliki regulasi yang lebih sensitif pada perkembangan teknologi.
Pertarungan menggiring opini publik tidak hanya terjadi di media massa, tetapi juga di media sosial. Kalau media massa sangat jelas regulasinya, media sosial masih abu-abu.
Sangat mungkin kontestan pemilu berkongsi dengan perusahaan digital untuk memengaruhi opini publik melalui algoritma. Sebagai contoh kasus yang pernah terjadi di Amerika Serikat pernah terbukti salah satu kandidat dalam pemilihan presiden pada tahun 2016 menggunakan data pengguna media sosial sebagai target kampanye (Heawood, 2018).
Melalui sistem algoritma, perusahaan digital bisa saja menjejali pengguna dengan informasi yang berkaitan dengan salah satu calon presiden. Pada akhrinya opini publik terarahkan untuk memilih calon presiden tertentu.
Pemilu yang seharusnya menjadi sarana memilih pemimpin kredibel terpatahkan hanya oleh opini manipulatif yang dijejalkan kepada warga. Manipulasi opini di media sosial perlu menjadi perhatian para pengawas pemilu karena akan membuat iklim demokrasi semakin buruk.
Banyak orang yang mengambil keputusan didasarkan bukan pada rasionalitas individu, melainkan dipengaruhi narasi kelompok tertentu (Sloman & Fernbach, 2017).
Pemilih harus lebih kritis dalam menerima informasi yang beredar di media sosial. Jangan sampai menjadi korban pasukan siber yang diciptakan untuk menghancurkan demokrasi.
Intinya dari kesimpulan artikel diatas bahwa penyelenggaraan praktik demokrasi (pemilu, Pilkada bahkan pemilihan apapun) hasilnya sudah dapat ditentukan / Grand by Design dari awal, lebih sangat berbahaya jika sistem tersebut dikuasai oleh kroni super kuat kejahatan demokrasi.
By, POINT Consultant