KETIKA RISET ILMU PENGETAHUAN MENJADI INSTRUMEN DOMINASI POLITIK
- Pengantar untuk Buku “Culture and Politics in Sumatra and Beyond,”Kumpulan Makalah IMLF 2
Oleh Denny JA
(Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA)
Ilmu pengetahuan dan kekuasaan bukan dua entitas yang terpisah, melainkan saling membentuk. (1)
Ilmu bukan sekadar pencarian kebenaran, tetapi juga alat untuk mengatur, mengawasi, dan mendisiplinkan.
Ia meresap ke dalam tubuh sosial, membentuk norma, menentukan siapa yang berpengetahuan dan siapa yang harus tunduk.
Setiap wacana ilmiah membawa jejak kekuasaan, menentukan batasan pemikiran, membungkam yang tak sesuai.
Kekuasaan tidak selalu memaksa, tetapi sering menyusup halus dalam kata-kata, statistik, dan institusi.
Maka, memahami ilmu adalah memahami siapa yang berbicara, atas nama siapa, dan untuk kepentingan siapa.
Inilah renungan dari Michel Foucault yang muncul ketika membaca makalah “Understanding Sumatra: Dutch Cultural Exploration of Padang Uplands in the Nineteenth Century.”
Makalah ini ditulis oleh
Dr. Pham Van Thuy - Associate Professor, Faculty of History, University of Social Sciences and Humanities - Vietnam National University.
Makalah ini salah satu saja dari buku rampai *The Second International Minangkabau Literacy Festival (IMLF)* 2024. IMLF ini tradisi tahunan yang salah satu penyelenggaranya adalah Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, Sumatra Barat.
Aneka paper dan esai dalam buku ini ditulis oleh akademisi dan peneliti internasional seperti Kieu Bich Hau, Reshma Ramesh, Vadim Terekhin, Carlos Velasquez Torres, dan Sastri Bakry.
-000-
Mengapa acapkali terjadi kasus riset ilmu pengetahuan justru menjadi instrumen kekuasaan dan ekspansi politik? Dominasi politik memerlukan ilmu pengetahuan setidaknya untuk tiga alasan utama:
Pertama: Menjaga Hegemoni dan Kontrol Politik.
Ilmu dapat digunakan untuk memahami struktur sosial, sistem politik, dan budaya masyarakat yang ingin ditundukkan. Dengan memahami bagaimana suatu bangsa berpikir dan berperilaku, penguasa politik dan ekonomi dapat merancang strategi kontrol yang lebih halus dan efektif.
Kedua: Merancang Strategi untuk Menguasai dan Mengeksploitasi.
Riset ilmiah sering kali digunakan untuk mengidentifikasi sumber daya alam dan bagaimana cara terbaik untuk mengeksploitasinya dengan tetap menjaga stabilitas sosial.
Ketiga: Membangun Narasi untuk Melegitimasi Penindasan.
Penelitian kolonial sering kali digunakan untuk membangun wacana bahwa masyarakat pribumi “primitif” dan perlu diarahkan oleh bangsa yang lebih “beradab.” Dengan begitu, kolonialisme bentuk lama ataupun bentuk baru bisa tampak seperti proyek “membantu” ketimbang penindasan.
Sejarah membuktikan ilmu pengetahuan bukan sekadar alat pemahaman, tetapi juga bisa diarahkan sesuai kepentingan mereka yang berkuasa.
Di berbagai belahan dunia, penelitian akademik sering kali digunakan untuk membangun dominasi kolonial. Dan salah satu kasus paling nyata adalah bagaimana Belanda menggunakan riset ilmiah untuk mengendalikan Sumatra.
-000-
Bayangkan sebuah pagi di Padang pada abad ke-19. Pasar mulai ramai, suara pedagang dan derap kaki kuda bersahut-sahutan.
Kaum penghulu adat berjalan tegak, dengan pakaian kebesaran mereka, mengatur kehidupan masyarakat dengan hukum adat Minangkabau.
Di tengah keramaian ini, beberapa sosok tampak mencatat sesuatu dengan teliti. Mereka adalah peneliti Belanda yang sedang mengamati cara kerja sistem adat.
Mereka bukan hanya pedagang atau tentara kolonial. Mereka adalah ilmuwan, etnolog, ahli hukum, dan geografer. Mereka datang bukan hanya dengan senapan, tetapi juga dengan pena dan buku catatan.
Belanda sangat tertarik dengan sistem matrilineal Minangkabau. Di sana, harta warisan diwariskan melalui garis ibu, dan penghulu adat memegang peran sentral dalam kepemimpinan.
Riset mereka menemukan penghulu adat memiliki kekuatan besar dalam mengatur masyarakat. Belanda kemudian menerapkan strategi pemerintahan tidak langsung (*indirect rule*) dengan tetap mempertahankan penghulu adat, tetapi hanya yang mau bekerja sama dengan mereka.
Belanda menggunakan riset tentang adat untuk memilih dan mengangkat pemimpin yang lebih loyal kepada kolonialisme.
Penghulu yang menentang? Mereka dipinggirkan, bahkan kadang dipecah belah dengan politik adu domba antara penghulu adat dan ulama. Ini bentuk dominasi yang elegan, menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengendalikan tanpa harus berperang.
Belanda juga melakukan studi tentang Tanah Ulayat. Tujuannya? Mengubah Kepemilikan Tanah untuk Eksploitasi Ekonomi.
Belanda memahami sistem kepemilikan tanah di Sumatra berbeda dengan konsep Eropa. Tanah bukan dimiliki secara individual, melainkan bersifat komunal dalam bentuk tanah ulayat.
Melalui penelitian ini, Belanda menemukan cara untuk mengambil alih tanah tanpa terlihat melanggar adat.
Mereka memperkenalkan sistem administrasi baru yang secara bertahap mengubah kepemilikan tanah komunal menjadi sistem kepemilikan pribadi. Dengan pola itu, tanah lebih mudah diambil alih oleh perkebunan kolonial.
Dibantu hasil penelitian ini, mereka mampu mengeksploitasi pertanian dalam skala besar, termasuk untuk produksi kopi dan tembakau. Itu adalah komoditas yang sangat menguntungkan di pasar dunia.
Belanda juga berminat soal Kajian tentang Perbedaan Adat dan Islam. Tujuan riset ini? Mengadu Domba untuk Melemahkan Perlawanan.
Belanda juga meneliti bagaimana hukum adat Minangkabau sering kali berbenturan dengan ajaran Islam.
Mereka menemukan ada ketegangan antara kaum adat dan kaum ulama reformis, terutama dalam hal hukum waris dan hukum pernikahan.
Hasil penelitian ini digunakan Belanda untuk mendukung penghulu adat dalam beberapa kesempatan dan mendukung ulama dalam kesempatan lain. Itu tergantung pada kelompok mana yang lebih mudah dikendalikan.
Politik “pecah belah dan kuasai” ini berhasil melemahkan perlawanan, mencegah rakyat Sumatra untuk bersatu melawan kolonialisme.
-000-
Kasus Sumatra hanyalah satu contoh bagaimana ilmu pengetahuan digunakan untuk dominasi. Taktik ini terjadi di banyak tempat di dunia.
Studi Rasial di Afrika Selatan (Apartheid - Abad ke-20).Di laboratorium dan ruang akademik, para ilmuwan kolonial di Afrika Selatan mengembangkan teori perbedaan ras yang disebut sebagai “ilmu pengetahuan.”
Namun, di balik statistik dan kurva genetika, tersembunyi niat untuk menjustifikasi dominasi. Penelitian ini merancang hierarki biologis yang menempatkan kulit putih sebagai superior dan kulit hitam sebagai subjek yang harus tunduk.
Ilmu yang seharusnya membebaskan justru menjadi belenggu. Hasil penelitian ini diterjemahkan ke dalam kebijakan Apartheid yang berlangsung selama hampir lima dekade.
Kulit putih diberikan akses penuh ke pendidikan, kepemilikan tanah, dan politik, sementara kulit hitam hanya dianggap sebagai tenaga kerja murah yang hidup dalam segregasi sosial.
Namun, tak ada benteng yang tak bisa runtuh. Ilmu yang semula membenarkan diskriminasi akhirnya dipatahkan oleh ilmu lain: sejarah, hukum, dan filsafat tentang kemanusiaan.
Nelson Mandela dan gerakan perlawanan mengungkapkan bahwa penindasan yang dikukuhkan oleh ilmu pengetahuan yang bias tak akan bertahan selamanya.
Ilmu bisa menjadi senjata bagi kekuasaan, tetapi juga bisa menjadi api yang menyalakan revolusi. Afrika Selatan menjadi saksi bagaimana sebuah bangsa bangkit dari ilmu yang menyesatkan menuju ilmu yang membebaskan.
Kasus lain: Eksplorasi Antropologi oleh Inggris di India (Abad ke-19). India mozaik peradaban yang kaya, dengan sistem sosial yang telah berakar selama ribuan tahun.
Namun, bagi penguasa kolonial Inggris, kompleksitas ini adalah kesempatan. Mereka datang dengan pena dan kertas, mengamati, mencatat, dan mengategorikan.
Antropologi mereka bukan sekadar pencatatan budaya, tetapi rekayasa sosial yang mengukuhkan kekuasaan kolonial di atas realitas masyarakat India. Kolonialisme tidak hanya menaklukkan tanah, tetapi juga narasi.
Inggris menggunakan penelitian ini untuk mengukuhkan stratifikasi sosial. Mereka memperkuat batas-batas kasta, menetapkan aturan yang membatasi mobilitas sosial, dan mendukung elite tertentu yang mau bekerja sama dengan mereka.
Sistem ini memastikan yang berada di lapisan bawah tetap di sana, sementara penguasa kolonial terus memegang kendali.
Ironinya, kasta yang sebelumnya lentur dalam realitas sosial menjadi lebih kaku di bawah sistem kolonial. Inggris tidak sekadar mencatat sistem kasta, tetapi membekukannya dalam kategori yang mereka ciptakan sendiri, mengunci identitas individu dalam batasan yang sulit ditembus.
Yang terjadi bukan sekadar eksplorasi budaya, melainkan rekayasa sosial yang mendukung kolonialisme.
Namun, dari ketidakadilan ini lahirlah perlawanan. Gandhi, Ambedkar, dan gerakan anti-kasta membalikkan ilmu yang menindas menjadi ilmu yang membebaskan.
Jika kolonialisme ingin menjadikan ilmu sebagai alat pengendalian, rakyat akan menjadikannya alat pembebasan.
Kasus lain adalah Studi tentang Suku Aborigin di Australia (Abad ke-19-20). Di bawah langit merah Australia, anak-anak Aborigin dibawa pergi.
Mereka diambil dari rumah mereka, dari keluarga mereka, dari bahasa dan budaya yang mengalir dalam darah mereka.
Para ilmuwan kolonial menyebutnya sebagai proyek “peradaban.” Studi-studi akademik mereka menyatakan bahwa anak-anak ini akan memiliki masa depan lebih baik jika dibesarkan oleh keluarga kulit putih.
Namun, di balik dalih kesejahteraan, tersembunyi rencana sistematis untuk menghapus identitas sebuah bangsa.
Maka, kebijakan Stolen Generations pun berjalan. Anak-anak yang direnggut dari keluarganya tumbuh tanpa akar, terasing dari bahasa, budaya, dan identitas yang seharusnya menjadi milik mereka.
Mereka dipaksa melupakan bahasa ibu, dipisahkan dari ritual nenek moyang, dan diprogram untuk menjadi bagian dari dunia kolonial.
Ilmu yang diklaim sebagai penyelamat, dalam kenyataannya, adalah penghancur peradaban.
Namun, memori kolektif tak bisa dihapus begitu saja. Generasi baru bangkit, mencari kebenaran, dan menuntut keadilan.
Studi-studi baru membongkar kebohongan akademik masa lalu. Ilmu yang dulu digunakan untuk memisahkan, kini menjadi alat untuk merebut kembali identitas dan martabat mereka.
Sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan bukan sekadar alat pemahaman, tetapi juga bisa diarahkan sesuai kepentingan mereka yang berkuasa.
Ia bisa menjadi alat penindasan, tetapi juga bisa menjadi jembatan menuju kebebasan.
-000-
Di zaman ketika batas negara semakin cair dan budaya bertemu dalam riuh rendah globalisasi, buku ini hadir sebagai sebuah upaya untuk memahami bagaimana literasi, baik budaya maupun finansial, menjadi kunci menuju perdamaian dan kesejahteraan.
Buku ini adalah kumpulan makalah dari The Second International Minangkabau Literacy Festival 2024. Ini sebuah perayaan pemikiran yang mempertemukan para akademisi, penulis, seniman, dan peneliti dari berbagai penjuru dunia.
Terdiri dari lebih dari dua puluh tulisan, buku ini mengalir seperti sungai yang membawa banyak cerita.
Ada yang menyoroti bagaimana literasi budaya dapat menjadi alat diplomasi, menciptakan jembatan pemahaman antarbangsa.
Ada yang mengupas bagaimana seni dapat diintegrasikan ke dalam kurikulum sekolah untuk menanamkan identitas dan kreativitas sejak dini.
Beberapa tulisan menyoroti bagaimana pelestarian naskah kuno dapat menjadi jalan untuk menjaga memori kolektif.
Sementara yang lain berbicara tentang tantangan yang dihadapi oleh seni tradisional yang semakin tergilas modernitas.
Ada pula pembahasan mengenai bagaimana ekonomi dan budaya saling bertautan. Bagaimana literasi finansial bisa menjadi alat pembebasan, dan bagaimana sejarah kolonialisme masih membentuk cara kita memahami dunia hari ini.
Sastri Sunarti sendiri menyampaikan makalahnya soal penggugah kesadaran bisa datang dari seorang penyair. Ia membahas peran penyair Taufik Ismail memberi kesaksian atas situasi zamannya.
Saya kutip agak panjang puisi Taufik Ismail soal Palestina:
Palestina, Bagaimana Bisa Aku Melupakanmu?”
Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan bulldozer dengan suara gemuruh menderu, serasa pasir dan batu bata dinding kamar tidurku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.
Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan, lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor agraria, serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa, yang dirampas mereka.
Palestina! bagaimana bisa aku melupakanmu?
Tanahku jauh, tanah kami jauh bila diukur kilometer. Beribu-ribu kilometer jauh jaraknya, tapi adzan Masjidil Aqsa yang merdu serasa terdengar di telingaku, serasa terdengar di telinga kami, di Indonesia.
Benang merah makalah di buku ini, manusia berdaya mengelola nasibnya, sejauh memahami kerja budaya, serta hubungan ilmu pengetahuan dan kekuasaan.
Pasar dan puisi, kitab dan neraca,menari di ruang tak teraba. Siapa yang mengerti tarian ini,(pengetahuan) akan menata dunia (kekuasaan) serupa taman yang tak mudah layu.***
Singapura, 27 Februari 2025
CATATAN:
(1) Relasi ilmu pengetahuan dan kekuasaan
Northwestern Universityhttps://sites.northwestern.eduKnowledge and Power according to Michel Foucault | Writing Addict
Dirilis ulang oleh POINT Consultant