Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era AI (8)
KOMUNITAS AGAMA DAN SPIRITUAL DI ERA AI.
Oleh Denny JA
Di sebuah galeri seni di Paris, seorang pria berdiri di depan lukisan Rembrandt. Ia bukan pelukis, tetapi matanya menangkap kedalaman warna, bayangan, dan cahaya yang diungkap sang maestro berabad-abad lalu.
Lukisan itu berbicara kepadanya tanpa perlu kata-kata.
Di sebuah gedung konser di Wina, seorang perempuan duduk di bangku paling belakang. Ia bukan musisi, tetapi jari-jarinya mengetuk lutut mengikuti irama simfoni Mozart.
Nada-nada itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya, seolah membawa ingatan dari kehidupan yang tak ia kenal.
Seni, dalam berbagai bentuknya, memiliki keajaiban untuk melampaui batas identitas. Tidak perlu menjadi seniman untuk merasakan kedalaman lukisan. Tidak perlu menjadi musisi untuk tersentuh oleh musik. Ia bisa menjadi milik siapa saja yang membuka hati untuknya.
Apa pun agamanya, negaranya, jenis kelaminnya, orientasi seksualnya, etniknya, semua bisa menikmati musik dan lukisan dunia. Siapa pun.
Demikian pula agama. Di era kecerdasan buatan (AI), ketika batas-batas kepercayaan semakin cair dan dogma menghadapi tantangan rasionalitas, agama bisa menjadi sumber inspirasi dan kebijaksanaan bagi siapa saja, tanpa harus menjadi penganutnya. Siapa pun.
Mungkinkah itu? Mengapa ia mungkin, dan mengapa itu perlu diupayakan?
-000-
Dulu, agama menjadi identitas yang mutlak. Seorang manusia lahir dalam satu keyakinan, mewarisi ritual, kepercayaan, dan komunitasnya seumur hidup. Tetapi dunia terus tumbuh, dan tidak lagi sesederhana itu.
Hari ini, seseorang bisa menjalani hidup yang sepenuhnya spiritual tanpa terikat satu agama tertentu.
Seorang ateis bisa menemukan makna dalam ajaran Buddha tentang kesadaran. Seorang Muslim bisa merasakan kedalaman doa seorang mistikus Kristen seperti Meister Eckhart. Seorang Kristen bisa merenungkan makna Tao tentang keseimbangan alam.
Seorang Kristen atau tak beragama bisa pula merasakan nikmat puasa di bulan Ramadan dan keindahan lantunan ayat Al-Qur’an.
Jika AI mengajarkan kita sesuatu, ia mengajarkan bahwa akses terhadap kebijaksanaan kini lebih luas dari sebelumnya.
Buku-buku suci bisa dibaca siapa saja, tafsir bisa diakses dalam berbagai bahasa, dan ritual bisa dipelajari tanpa harus diinisiasi dalam sebuah tradisi.
Ini bukan sekadar kemungkinan, tetapi sebuah realitas yang semakin nyata. Manusia masa kini mencari makna melampaui sekat agama, dan tafsir agama yang bertahan adalah tafsir agama yang mampu membuka diri.
Agama tidak lagi bisa berdiri sebagai institusi eksklusif, karena teknologi membuatnya menjadi warisan kebijaksanaan yang bisa dinikmati siapa saja.
Ini sebuah kisah di era AI. Dewa, asal Jakarta, duduk di kafe kecil di sudut kota. Tangannya menggenggam secangkir kopi yang masih mengepulkan asap tipis.
Di depannya, layar ponselnya bersinar, menampilkan aplikasi yang telah menjadi bagian dari pencariannya selama berbulan-bulan terakhir—AION (1). Itu sebuah kecerdasan buatan yang mengumpulkan kebijaksanaan dari berbagai agama, filsafat, dan tradisi spiritual dunia.
Dewa tidak pernah benar-benar merasa menjadi bagian dari satu agama. Lahir di keluarga yang tidak terlalu religius, Dewa tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah sepenuhnya terjawab.
Apa makna hidup? Bagaimana manusia seharusnya menjalani hari-harinya? Apakah Tuhan ada, dan jika ada, bagaimana cara mengenali-Nya?
Dulu, pertanyaan semacam itu membawanya ke berbagai tempat: gereja, masjid, kuil, pusat meditasi. Namun kini, dengan satu ketukan jari, ia bisa memasuki semua tempat itu tanpa meninggalkan meja kafenya.
Ia membuka AION dan mengetik: “Bagaimana cara menemukan kedamaian batin?”
Layar menampilkan berbagai perspektif. Dari Al-Qur’an, muncul ayat:
“Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Dewa mengangguk pelan. Lalu muncul ajaran Buddha:
“Kedamaian tidak ditemukan di luar sana. Kedamaian ada di dalam dirimu, ketika kamu berhenti berperang dengan kenyataan.”
Di bawahnya, AION menampilkan refleksi dari filsafat Stoikisme:
“Jangan berharap dunia berubah agar hatimu tenang. Tenangkan hatimu, dan dunia tidak akan pernah bisa mengusikmu.” — Marcus Aurelius
Dewa terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan kata-kata itu meresap.
Sebelumnya, ia sering merasa bahwa agama adalah sesuatu yang eksklusif, bahwa untuk memahami sebuah ajaran, seseorang harus menjadi bagian dari komunitas tertentu.
Tetapi kini, dalam hitungan detik, ia bisa melihat bahwa kebijaksanaan bukanlah milik satu golongan saja.
Ia mengetik pertanyaan lain: “Bagaimana cara mencintai tanpa takut kehilangan?”
Kali ini, AION menampilkan ajaran Hindu dari Bhagavad Gita:
“Lakukanlah segalanya dengan cinta, tetapi jangan menggantungkan kebahagiaanmu pada hasilnya.”
Lalu muncul perkataan Yesus dari Injil:
“Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri.”
Di bawahnya, dari ajaran Sufi Rumi:
“Jangan bersandar pada bentuk cinta yang bisa lenyap. Cintailah dengan cara yang tak bisa diambil oleh waktu.”
Dewa menatap ponselnya, tersenyum kecil. Ia mulai memahami sesuatu.
-000-
Dulu, manusia harus memilih. Seseorang lahir dalam satu agama, tumbuh dengan ajarannya, dan sering kali tidak pernah benar-benar menjelajahi yang lain. Tetapi teknologi telah mengubah segalanya.
Kini, dalam satu layar, seseorang bisa membaca Al-Qur’an dan Tao Te Ching dalam hitungan detik. Bisa mendengar khutbah tentang kasih sayang dari seorang pendeta Kristen, lalu dalam detik yang sama, membaca wejangan Dalai Lama tentang welas asih.
Hari mulai senja. Dewa menutup aplikasinya dan memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia berjalan keluar dari kafe, menelusuri trotoar yang dipenuhi lampu-lampu kota yang mulai menyala.
Di tikungan jalan, ia melihat seorang pria tua dengan jubah oranye sedang duduk bersila di depan kuil kecil, bibirnya melantunkan mantra pelan.
Tidak jauh dari sana, seorang ibu berjilbab sedang menggandeng anaknya melewati masjid, sesekali membisikkan doa ke telinga kecil itu.
Di ujung jalan, sebuah gereja berdiri megah, loncengnya berdentang, memanggil jemaat untuk berdoa.
Dewa tersenyum.
Di kota ini, ada begitu banyak jalan yang berbeda. Tetapi kini ia tahu, semuanya mengarah pada cahaya yang sama.
-000-
Agar agama bisa menjadi warisan kultural milik kita bersama, perlu ada komunitas yang kuat, yang bersetuju bahwa hal ini bukan hanya mungkin, tetapi perlu diperjuangkan.
Tanpa Komunitas, Gagasan Tidak Akan Bertahan
Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa gagasan, sehebat apa pun, hanya akan bertahan jika ada manusia yang merawatnya.
Seperti api yang hanya bisa terus menyala jika ada yang menjaga bara, ide-ide besar pun hanya akan terus menyinari dunia jika ada komunitas yang menjadikannya bagian dari kehidupan mereka.
Teknologi Mengubah Makna Komunitas Agama dan Spiritual
Dulu, komunitas keagamaan bersifat fisik: gereja, masjid, vihara, sinagoga. Identitas keagamaan seseorang melekat pada ruang-ruang ini, pada suara lonceng gereja, panggilan azan, atau dupa yang dibakar di altar keluarga.
Tetapi teknologi mengubah semua itu. Kini, seseorang bisa merasa lebih terhubung dengan komunitas meditasi daring di Tokyo daripada dengan jemaat gereja di seberang rumahnya.
Seorang Muslim bisa mengikuti kajian Sufi dari Mesir tanpa harus meninggalkan kamarnya di Jakarta.
Di era AI, komunitas spiritual tidak lagi terikat tempat, tetapi pengalaman. Yang menyatukan bukan lagi tradisi lahiriah, tetapi pencarian batiniah.
Bagi mereka yang lahir dalam keluarga tanpa agama, AI bisa menjadi pintu masuk pertama ke dunia spiritual. Dengan satu perintah suara, seseorang bisa mendengar khutbah Dalai Lama, membaca tafsir Al-Ghazali, atau mempelajari meditasi Zen.
Namun, tanpa komunitas yang aktif mendukung gagasan bahwa agama adalah warisan bersama, AI hanya akan menjadi alat pasif.
Komunitaslah yang akan menentukan bagaimana kebijaksanaan agama dipresentasikan. Akankah ia menjadi warisan yang bisa dinikmati siapa saja? Ataukah ia tetap dipagari dalam batasan eksklusivitas yang membatasi siapa yang boleh mengambil pelajaran darinya?
Jika agama tidak membuka diri, AI akan melakukannya untuknya. Bayangkan sebuah AI yang mampu menganalisis semua kitab suci utama dunia dalam hitungan detik.
AI ini mampu menemukan kesamaan pesan di antara mereka dan menyajikannya dalam bentuk yang bisa dipahami siapa saja.
Di masa depan, seorang remaja yang tidak tumbuh dalam tradisi keagamaan bisa menemukan kebijaksanaan dari berbagai agama, bukan karena ia mengidentifikasi diri dengan satu keyakinan, tetapi karena ia mengakses ajaran itu secara langsung.
-000-
Esai ini mengeksplorasi prinsip ketujuh, prinsip terakhir dari tujuh prinsip yang saya susun untuk membangun Teori Sosiologi Agama dan Spiritualitas di Era AI.
Dua variabel yang dicari hubungannya adalah variabel sikap keagamaan dan variabel mati dan tumbuhnya komunitas atas sikap agama itu.
Tapi bagaimana metodologi riset yang bisa digunakan untuk mencari jawabannya?
Metodologi riset ini harus menembus lebih dalam dari sekadar statistik, menuju denyut kehidupan yang menjadikan iman tetap bernyala.
Ia bisa berbentuk studi historis dan longitudinal. Pendekatan ini menelusuri bagaimana komunitas menghidupkan agama dari masa ke masa.
Kita melihat Kekristenan bertahan karena gereja mula-mula, atau Islam yang menyebar melalui jaringan komunitas dagang.
Studi ini membandingkan agama yang berkembang dengan yang memudar, melihat peran komunitas dalam perbedaannya.
Bisa juga melalui pendekatan etnografi dan observasi partisipatif. Kita memasuki kehidupan komunitas agama, menjadi bagian dari ritual, mendengar doa mereka, menyaksikan bagaimana identitas kolektif terbentuk.
Apakah mereka berkumpul di rumah ibadah atau dalam forum digital? Bagaimana mereka merawat iman dalam dunia yang terus berubah?
Pendekatan lain yang bisa digunakan: analisis jaringan sosial dan AI. Di era digital, komunitas tidak hanya berinteraksi secara fisik tetapi juga melalui algoritma.
AI dapat memetakan pola hubungan: bagaimana sebuah keyakinan bertahan dalam jaringan sosial, bagaimana komunitas virtual menggantikan kehadiran fisik.
Agama bertahan bukan karena teks suci semata, melainkan karena tangan-tangan yang menyalakan nyala imannya. Tanpa komunitas, ia akan menjadi catatan sunyi dalam arsip sejarah.
-000-
Apa yang baru dari jenis komunitas agama di era AI yang belum disentuh oleh para sosiolog klasik era Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx?
Sosiolog Emile Durkheim melihat agama sebagai perekat sosial. Max Weber menelaah dampaknya terhadap etika ekonomi. Dan Karl Marx menganggapnya sebagai instrumen kekuasaan.
Namun, di era kecerdasan buatan (AI), komunitas agama berkembang dalam lanskap baru: dunia digital.
Dulu, komunitas agama lahir dari interaksi fisik, ritual yang dijalankan bersama, dan hubungan sosial yang nyata.
Kini, komunitas dapat terbentuk tanpa keterikatan geografis. Sebuah doa bisa diketik dalam forum daring, meditasi bisa dilakukan bersama melalui aplikasi, dan pengalaman spiritual bisa dirasakan melalui realitas virtual.
Inilah yang belum terbayangkan oleh para sosiolog klasik: agama yang terus bertahan tanpa batas ruang dan waktu, dipelihara oleh algoritma, dan direproduksi dalam jaringan digital.
Dalam sejarahnya, ritual keagamaan selalu melibatkan manusia—seorang imam yang memimpin doa, seorang biksu yang membacakan sutra, atau seorang pendeta yang memberikan khotbah.
Namun, di era AI, teknologi mulai mengambil alih peran tersebut. Hari ini, sudah ada imam virtual yang bisa mengajarkan tafsir agama.
Sudah ada biksu AI yang bisa memimpin sesi meditasi. Hadir pula robot pendeta yang mampu memberikan penghiburan spiritual kepada jemaatnya.
Sebuah aplikasi bisa mengingatkan seseorang untuk berdoa, menyesuaikan ajaran dengan kondisi psikologisnya. AI bahkan memberikan nasihat spiritual berdasarkan data yang dikumpulkan dari pola hidupnya.
Jika komunitas keagamaan dapat berfungsi tanpa interaksi fisik dan jika pemimpin agama bisa digantikan oleh AI, maka peran manusia dalam keberlangsungan agama mulai berubah.
Kita memasuki era komunitas yang digerakkan oleh data. Durkheim berargumen bahwa solidaritas sosial dalam agama terbentuk karena kesadaran kolektif.
Namun, di era AI, solidaritas ini tidak lagi hanya berdasarkan interaksi sosial, melainkan juga oleh data. Algoritma media sosial mengelompokkan orang-orang dengan keyakinan yang serupa, memperkuat identitas agama mereka.
AI menganalisis preferensi spiritual seseorang dan merekomendasikan konten keagamaan yang paling relevan.
Komunitas digital menggantikan interaksi tatap muka dengan ruang diskusi daring, menciptakan keterikatan emosional tanpa pertemuan fisik.
Jika dulu komunitas agama terbentuk melalui kesamaan lokasi atau praktik ritual bersama, kini ia diatur oleh kode-kode digital yang mengelola interaksi, keyakinan, dan pengalaman spiritual secara otomatis.
Namun, ada pertanyaan mendasar: apakah agama tetap memiliki esensi jika komunitasnya diatur oleh sistem algoritmik?
Jika AI memandu pengalaman spiritual seseorang berdasarkan data yang dikumpulkan, di manakah ruang bagi kebebasan iman dan pencarian makna yang otentik?
-000-
Jean Baudrillard pernah menyebut kita hidup dalam era simulasi. Realitas digantikan oleh representasi. Jika diterapkan dalam konteks agama, ini berarti kehidupan spiritual kini tidak hanya terjadi dalam dunia nyata, tetapi juga dalam dunia digital yang disimulasikan.
Ritual tidak lagi membutuhkan tempat ibadah fisik, tetapi bisa dijalankan dalam metaverse.
Ziarah virtual ke Mekah atau Vatikan bisa dilakukan tanpa meninggalkan rumah.
Perjumpaan dengan “dewa” atau “nabi” bisa terjadi dalam realitas virtual, dirancang oleh teknologi yang mampu meniru pengalaman spiritual yang mendalam.
Agama yang dulu sangat bergantung pada pengalaman inderawi kini merambah ke pengalaman yang dihasilkan oleh simulasi digital.
Jika realitas virtual dapat membangkitkan pengalaman spiritual yang sama mendalamnya dengan pengalaman nyata, apakah agama masih memerlukan dunia fisik untuk bertahan?
Di era Durkheim, Weber, dan Marx, agama adalah fenomena sosial yang berakar pada interaksi manusia dalam dunia nyata.
Namun, di era AI, komunitas agama memasuki ranah baru yang melampaui fisik.
Komunitas spiritual tetap hidup, tetapi ia tidak lagi memerlukan batas ruang, waktu, atau bahkan manusia sebagai pemimpinnya.
Ia dapat dipandu oleh AI, diatur oleh algoritma, dan direproduksi dalam simulasi digital.
Namun, satu hal tetap tak berubah: agama hanya bertahan selama ada yang menghidupkannya.
Entah dalam ritual fisik atau digital, selama masih ada yang mencari makna, cahaya spiritual akan terus menyala—meski kini, mungkin, dalam bentuk kode dan data.
Bayangkan sebuah malam di tahun 2030. Ini bukan fakta nyata hari ini, tapi sebuah prediksi ke depan. Di sebuah laboratorium Al di Kyoto, para insinyur dan teolog duduk bersama.
Di layar raksasa di depan mereka, sebuah model Al bernama Harmonia sedang memproses 127 ribu konflik agama sepanjang sejarah-dari Perang Salib hingga kerusuhan etnis kontemporer. AI ini juga merancang pola rekonsiliasi berbasis prinsip kesamaan ajaran agama.
Harmonia bukan sekadar alat. la telah belajar dari kegagalan manusia: bagaimana eksklusivisme memicu kekerasan, bagaimana tafsir literal melahirkan fanatisme.
Namun, Al ini juga mengungkap sesuatu yang mengejutkan: 73% konflik agama abad ke-21 bermula dari kesalahpahaman linguistik-bukan perbedaan doktrin.
Contoh nyata: Di Nigeria, Harmonia menganalisis 5.000 khotbah dari gereja dan masjid. la menemukan bahwa kata "Tuhan" dalam khotbah Kristen sering diterjemahkan sebagai "Chi" (dewa lokal), sementara dalam Islam sebagai "Allah"—dua istilah yang dianggap berbeda oleh masyarakat.
Al lalu melatih pendeta dan imam untuk menggunakan frasa "Sumber Semua Cahaya" sebagai terjemahan inklusif.
Hasilnya? Laporan konflik antaragama turun 40% dalam 2 tahun.
-000-
Tapi seberapa penting komunitas untuk merawat sebuah paham agama agar terus bertahan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain?
Di pegunungan terpencil, seorang pertapa duduk dalam kesunyian. Ia tidak butuh gereja, masjid, atau kuil. Ibadahnya hanya percakapan sunyi dengan semesta.
Di sudut dunia lain, sebuah komunitas berdoa bersama, menjaga tradisi yang telah berlangsung ribuan tahun.
Siapakah yang benar? Apakah agama tetap bertahan karena komunitas yang menghidupkannya, ataukah ada sesuatu yang lebih mendalam yang menjaganya tetap bernyala?
Sejarah membuktikan bahwa komunitas memang menjadi penjaga agama. Kristen bertahan karena gereja mula-mula, Islam menyebar karena jaringan perdagangannya, dan Buddha menemukan jalannya melalui sangha.
Namun, apakah ini berarti agama hanya bisa bertahan jika ada komunitas yang menghidupkannya?
Agama sebagai Pengalaman Pribadi
Dalam sejarah mistisisme, banyak tokoh spiritual justru menemukan pencerahan dalam kesendirian.
Rumi tidak bergantung pada komunitas, tetapi pada ekstasi cintanya kepada Tuhan. Meister Eckhart menemukan Tuhan dalam keheningan, bukan dalam ritual sosial.
Jika agama hanya bertahan karena komunitas, bagaimana mungkin para sufi, pertapa, dan mistikus tetap memancarkan cahaya iman tanpa jemaat yang mengikutinya?
Komunitas yang Justru Membatasi
Komunitas tidak selalu menghidupkan agama; ia juga bisa membatasi dan membelenggunya.
Sejarah menunjukkan bagaimana dogma yang terlalu kaku membungkam pemikiran bebas. Inkuisisi di Eropa, penindasan terhadap kaum sufi, hingga fatwa-fatwa yang mengontrol tafsir agama.
Itu juga bukti bahwa komunitas bisa menjadi penjara bagi keyakinan.
Spiritualitas yang Muncul di Era AI
Di dunia digital, seseorang bisa menemukan makna spiritual tanpa harus tergabung dalam komunitas keagamaan.
Meditasi bisa dilakukan dengan aplikasi, doa bisa dipandu oleh AI, dan pencarian makna tidak lagi membutuhkan institusi.
Jika komunitas adalah kunci bertahannya agama, bagaimana dengan mereka yang menemukan jalan iman tanpa perlu interaksi sosial?
Namun, sekuat apa pun kritik terhadap komunitas, sulit untuk menolak kenyataan bahwa agama yang bertahan sepanjang sejarah selalu memiliki akar dalam masyarakat.
Tanpa Komunitas, Agama Menjadi Sunyi
Seorang mistikus mungkin dapat menjaga imannya dalam keheningan, tetapi ia tidak dapat mewariskannya tanpa komunitas.
Sebuah agama yang tidak diwariskan akan menjadi sekadar memori yang terlupakan. Tanpa gereja, masjid, atau kuil, apakah ajaran-ajaran spiritual bisa tetap hidup setelah satu generasi?
Agama sebagai Ruang Bersama
Komunitas bukan hanya penjaga agama, tetapi juga ruang tempat agama berkembang. Ritual bersama menciptakan pengalaman yang memperdalam makna iman.
Doa dalam kesendirian memang bermakna, tetapi doa yang diucapkan dalam kebersamaan membawa energi yang lebih besar.
Di Era AI, Komunitas Menyesuaikan Diri
Di dunia digital, komunitas tidak mati—ia berevolusi. Forum online, komunitas spiritual virtual, bahkan gereja dan masjid digital menunjukkan bahwa manusia tetap mencari koneksi spiritual dengan sesama.
Teknologi tidak membunuh komunitas agama, tetapi menciptakan bentuk baru yang tetap berfungsi sebagai penjaga iman.
Agama bukan sekadar fenomena sosial, tetapi juga pengalaman individual. Ia bisa bertahan dalam kesendirian, tetapi juga berkembang dalam komunitas.
Mistikus menemukan Tuhan dalam keheningan, tetapi komunitas memastikan bahwa cahaya itu tidak padam. Kesadaran spiritual bisa muncul dalam sunyi, tetapi komunitas memberikan makna dan warisan.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah agama bertahan karena komunitas atau individu?
Tetapi bagaimana keduanya bisa saling menjaga, agar nyala iman tidak hanya bersinar untuk satu generasi, tetapi juga untuk yang akan datang.
Di era AI, kita dihadapkan pada paradoks spiritualitas: teknologi membuka akses tanpa batas, tetapi juga menciptakan isolasi.
Pengalaman individu yang mendalam memang dapat menyalakan cahaya iman, namun tanpa komunitas yang merawatnya, cahaya itu berisiko meredup dalam kesendirian.
Sebaliknya, komunitas tanpa pencarian otentik dari individu hanya akan menjadi ritual kosong tanpa jiwa. Maka, agama harus menemukan harmoni baru—menggabungkan pencarian makna pribadi dengan energi kolektif yang menghidupkan tradisi.
-000-
Di tengah derasnya arus perubahan, satu hal tetap abadi: manusia mencari makna.
AI mungkin membuka pintu bagi siapa saja untuk menjelajahi kebijaksanaan agama tanpa sekat, tetapi tanpa komunitas yang merawatnya, agama bisa kehilangan jiwa yang menjadikannya hidup.
Seperti api yang butuh penjaga, agama butuh tangan-tangan yang meneruskan cahayanya, bukan sebagai batas eksklusif, melainkan sebagai lentera yang menerangi jalan semua pencari.
Sebagaimana Rumi menulis, “Lilin tidak kehilangan cahayanya dengan menyalakan lilin lain.”
Di era AI, biarkan agama menjadi cahaya yang bisa dibagikan, bukan dibatasi.
Jakarta, 16 Maret 2025
CATATAN:
(1)AION adalah aplikasi AI yang semakin canggih seperti Chat GPT, DeepSeek, Perplexity, Monica, dll
***Serial esai “Kekosongan Teori Sosiologi Agama di Era AI,” dapat dibaca di Facebook Denny JA’s World
https://www.facebook.com/share/1M1BsDok9G/?mibextid=wwXIfr
Ditulis ulang oleh POINT Consultant