KARTINI DI ERA DIGITAL
Oleh Kadarisman Wisnukaton
Di ujung abad ke-19, ketika dunia masih gemetar oleh gema revolusi industri, di sebuah sudut tanah tropis Hindia Belanda, lahirlah seorang perempuan — nyala kecil dalam malam panjang feodalisme dan kolonialisme. Raden Ajeng Kartini, nama lembut namun menggores sejarah. Ia tidak membawa tombak, tidak memimpin pasukan. Tapi dari balik jendela pingitan, lahirlah revolusi dalam bentuk surat. Bukan surat meledak seperti meriam, tetapi mengguncang kesadaran. Disulam dari benang-benang resah seorang perempuan yang enggan dibungkam zaman.
Kartini hidup dalam struktur sosial kaku, bertingkat-tingkat seperti tangga timpang — ada bangsawan dan ada jelata, perempuan tak mencium impian. Pendidikan menjadi taman berpintu rapat, hanya terbuka bagi laki-laki. Sementara perempuan pribumi, dijaga laksana bunga dalam kaca — cantik, harum, tapi tak pernah mencicipi udara bebas. Di tengah kebisuan budaya dan kungkungan kolonial, Kartini memilih menulis: pena sebagai senjata, kata sebagai peluru dan buku itu bom.
Dalam surat kepada sahabatnya di Belanda, Kartini bicara tentang kebebasan berpikir, hak perempuan untuk belajar, dan kegelisahan bangsa atas rantai kebodohan. Ia menolak takdir diam-diam. Ia menginginkan perempuan menjadi manusia seutuhnya — berpikir, bermimpi, mencipta.
Kini, satu abad lebih berlalu. Dunia berganti kulit. Tak lagi berkirim surat lewat pos kuda, melainkan sinyal udara. Bukan pingitan adat, melainkan notifikasi. Dunia digital membuka jendela lebih lebar daripada jendela Kartini, angin informasi bertiup dari segala penjuru. Teknologi seperti AI, fisi-fusi nuklir hingga bioteknologi menjadi kosakata harian generasi muda Kartini. Pengetahuan tak lagi susah payah dikejar — bertebaran seperti hujan meteor di langit malam. Tinggal mau menadah atau tidak.
Di tengah gegap gempita zaman digital, suara Kartini tetap menggema. Bukan sebagai patung di taman kota, melainkan gema dalam hati menolak tunduk pada ketidakadilan dan kebodohan. Kartini masa kini tak sekadar memakai kebaya sambil memegang laptop. Ia hadir dalam gagasan bahwa perempuan berhak memahami sains, membedah algoritma, menyusun kode-kode DNA, memimpin startup, dan menulis masa depan bangsa dari balik layar.
Dulu Kartini menginginkan perempuan belajar membaca dan menulis. Hari ini, pertanyaannya berubah: apakah perempuan diajak membaca data dan menulis algoritma? Apakah mereka hanya menjadi pengguna, atau juga meretas teknologi? Apakah perempuan desa mendapat sinyal setara dengan perempuan kota? Akses ke laboratorium, beasiswa luar negeri, dan startup digital — benar-benar terbuka bagi semua?
Zaman telah bergeser. Namun kesenjangan masih menyelinap seperti bayangan di sore hari. Masih ada perempuan terkekang, bukan oleh tembok pingitan, melainkan bias sosial, ekonomi, dan ekspektasi menyamar bagai nasehat: “Sudah, tidak usah muluk-muluk.” Seandainya Kartini masih hidup hari ini, mungkin ia akan berseru: “Muluk-muluklah! Dunia ini milik mereka yang berani membayangkan sesuatu lebih.”
Kini telah lahir banyak Kartini baru. Mereka tak menulis surat ke Belanda, melainkan jurnal ilmiah grade internasional. Tak mendirikan sekolah anak perempuan, tapi platform edukasi untuk ribuan siswa dari Sabang sampai Merauke. Tak menunggang kuda, tapi berselancar di arus data. Ilmuwan, pemrogram, pengusaha, pendidik, menteri — membawa semangat Kartini dalam rupa baru.
Apakah perempuan muda masa kini benar-benar menguasai sains dan teknologi? Sebagian besar, ya. Namun realitas tetap seperti jalan belum semua teraspal. Ada jalur mulus, ada pula berbatu. Ada perempuan melesat, lainnya tertatih. Perjuangan Kartini belum rampung.
Kartini di era digital bukan sekadar peringatan tiap April. Ia pengingat harian bahwa terang tak hanya datang dari listrik atau jaringan 5G, melainkan dari pikiran merdeka. Perempuan, sebagaimana laki-laki, berhak dan wajib menyalakan terang itu.
Selama masih ada satu perempuan takut bermimpi karena ia perempuan, Kartini belum benar-benar tiba di tujuannya. Namun, selama masih ada satu perempuan berani berkata “aku bisa”, maka dari layar mana pun ia berbicara — Kartini akan tersenyum dari kejauhan.
Kadarisman W. Kolumnis dan pengamat sosial politik
Diposting oleh POINT Consultant

