Soerjopranoto : Pangeran yang Menolak Takhta Demi Rakyat Jelata
Di tengah kemewahan istana Pakualaman, lahirlah seorang pangeran yang memilih jalan tak biasa. Soerjopranoto, putra tertua Pangeran Haryo Soerjaningrat sekaligus kakak kandung dari Ki Hajar Dewantara, bukanlah bangsawan yang terlena dalam gemerlap kekuasaan dan harta. Alih-alih menikmati kemewahan, ia memilih hidup bersama rakyat miskin, jauh dari hiruk pikuk istana.
Takhta yang seharusnya menjadi miliknya terlepas karena sang ayah mengalami kebutaan. Namun, kehilangan itu justru membuka mata batinnya. Sejak kecil, Soerjopranoto bergaul dengan anak-anak kampung miskin. Dari situ, tumbuh rasa empati yang mendalam. Ia melihat bagaimana ketimpangan dan kemiskinan menghimpit rakyat, sementara para bangsawan hidup serba berkecukupan.
"Kekayaan kami tidak berarti jika rakyat sengsara," ujarnya.
Kesadarannya memuncak ketika ia menyaksikan kuli tebu hanya digaji 12 sen per hari, sementara mandornya yang hanya duduk ongkang-ongkang kaki menerima 500 gulden. Ia menangis. Lalu bersumpah tak akan bekerja untuk pemerintahan kolonial Belanda. Sebagai bentuk penolakan, ia merobek ijazah sekolah Belanda yang diperolehnya dengan susah payah.
Soerjopranoto keluar dari istana, meninggalkan kenyamanan dan jabatan prestisius demi membela rakyat. Ia menjadi guru di sekolah Taman Siswa milik Ki Hajar Dewantara, dan terjun dalam pergerakan nasional. Ia aktif di Boedi Oetomo dan Sarekat Islam, serta dikenal luas lewat perjuangannya memimpin pemogokan buruh besar-besaran di masa kolonial.
Aksinya yang mengguncang itu membuat pemerintah Belanda murka. Namun rakyat menyambutnya dengan gelar: "Raja Mogok."
Setelah Indonesia merdeka, Soerjopranoto tetap hidup dalam kesederhanaan. Ia tidak kembali ke kehidupan bangsawan, tetap tinggal bersama rakyat, dan setia pada idealismenya sampai akhir hayat.
Sumber :
CNBC INDONESIA
Ditulis ulang oleh POINT Consultant

