Faktor Premanisme
BACA DISINI :
Premanisme menjamur karena beberapa faktor yang saling berkaitan, termasuk lemahnya penegakan hukum, masalah sosial ekonomi, dan kurangnya pengawasan dari pemerintah. Selain itu, beberapa preman juga mendapatkan dukungan dari pihak-pihak yang berkepentingan, seperti oknum aparat atau pengusaha, yang membuat mereka sulit diberantas.
Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan premanisme menjamur :
1. Lemahnya Penegakan Hukum.
Kurangnya pengawasan dan penegakan hukum yang tegas dari pemerintah memungkinkan preman untuk beroperasi dengan leluasa dan melakukan tindakan kriminal seperti pemerasan dan intimidasi.
2. Masalah Sosial Ekonomi.
Kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial dapat mendorong orang untuk terlibat dalam kegiatan premanisme sebagai cara untuk bertahan hidup atau mencari penghasilan.
3. Kurangnya Pengawasan.
Kurangnya pengawasan dari pemerintah dan aparat penegak hukum di berbagai sektor, seperti pasar tradisional atau tempat usaha, memungkinkan preman untuk beroperasi dan melakukan pungutan liar.
4. Dukungan Pihak Tertentu.
Beberapa preman mungkin mendapatkan dukungan dari oknum aparat atau pengusaha yang berkepentingan, yang membuat mereka sulit ditindak.
5. Perlindungan dari Organisasi Massa.
Beberapa preman juga berafiliasi dengan organisasi massa tertentu, yang memberikan mereka perlindungan dan dukungan dalam menjalankan aksinya.
6. Keterlibatan dalam Konflik Sosial.
Premanisme juga dapat berkembang karena adanya konflik sosial atau perebutan pengaruh di masyarakat.
Faktor-faktor tersebut diatas saling terkait dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan premanisme. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya terpadu dari pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman, adil, dan berkeadilan.
Premanisme, Kebudayaan, dan Ideologi Kekerasan.
Premanisme merupakan bagian dari wajah ideologi kekerasan. Wajah penuh keyakinannya bahwa dunia merupakan lingkungan serba membenarkan tindakan kekerasan dalam upaya meraih tujuan. Karenanya premanisme memosisikan dunia sebagai ruang-ruang sekawanan lawan yang harus dihadapi dan ditundukan dengan modal keberanian, paksaan dan kekerasan.
Ideologi kekerasan tersebut identik juga dengan semua gerakan kelompok ekstrimis, teroris, dan radikalis saat mereka melancarkan tindakan-tindaknnya. Bagi mereka kekerasan adalah jalan yang paling pintas dan absah dalam memperjuangkan dan memenangkan ideologinya.
Sebagai ideologi kekerasan, premanisme tidak tumbuh subur pada lingkungan hidup tertentu saja. Namun, ia dapat cepat tumbuh sumbur di semua lingkungan hidup, termasuk pada lingkungan hidup kebudayaan.
Celakanya, ia tumbuh subur tidak selalu melalui cara-cara represif yang terbuka dan langsung, namun juga beroperasi secara tidak langsung, lebih halus dan menyebar luas pada individu-individu atau pun kelompok-kelompok melalui ideologi yang tertanam pada lembaga dan budaya.
Basis Kebudayaan
Kebudayaan bisa menjadi basis bagi legitimasi dan konsolidasi premanisme. Hal itu misalnya bisa dilihat dari nama-nama, simbol-simbol dan klaim-klaim yang digunakan dalam organisasi masyarakat (ormas) yang dibentuknya.
Dalam lingkungan masyarakat terdapat ormas yang mengaitkan dengan nama, lambang, dan klaim-klaim wilayah tertentu. Ada pula yang mengaitkannya dengan nilai-nilai kearifan lokal, seperti simbol, lambang kekerasan, benda-benda pusaka hingga berlatar belakang olahraga kekerasan dan beladiri.
Selain itu, mencermati tumbuh juga pada lingkungan hidup kebudayaan politik Indonesia. Di mana selama ini premanisme telah menjadi tulang pungggung budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Sehingga tidak mengherankan ia memiliki bahkan menganjurkan agar skeptis terhadap segala bentuk upaya pemberantasan premanisme. Ia mengibaratkan usaha apapun pemberantasan premanisme tidak akan lebih dari seperti usaha pemberontakan dan kebutuhan instan sehingga paksaan hingga ancaman bisa dilakukan.
Cultural Studies
Melalui pendekatan kebudayaan, premanisme dalam perspektif disiplin cultural studies misalnya, dapat dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Di sini, premanisme bukan hanya persoalan bacaan praktik perilaku sehari-hari, namun juga persoalan kumpulan bacaan sikap dan pengetahuan. Di mana perilaku apa pun akan dipengaruhi oleh sikap yang dimiliki dan pengetahuan yang didapatkan.
Oleh karena itu, dalam penanganan premanisme tidak cukup dengan penindakan hukum terhadap perilaku preman, namun juga harus mencakup penataan terhadap sikap dan pengetahuan. Tentu dengan model penanganan yang berbeda. Misalnya, ia lebih fokus pada penanganan yang bersifat pencegahan dan pembinaan, seperti edukasi, literasi, rehabilitasi, dan reintegrasi.
Long March Depremanisasi
Dalam konteks inilah, “depremanisasi” menemukan relevansi dan momentumnya. Konsep yang merujuk pada praktik penurunan atau perubahan tingkat keyakinan individu atau kelompak tentang sikap dan perikalu kekerasan dan kejahatan. Selain itu, merujuk pada proses dan praktik penolakan terhadap segala bentuk ideologi premanisme.
Secara bahasa, depremaisiasi menurut Guru Besar Ilmu Politik UPI, Cecep Darmawan (2025), yang akrab dipanggil Cewan, adalah istilah yang relatif belum secara luas digunakan dalam literatur akademik. Depremanisasi terdiri dari dua unsur: “De-”: awalan yang berarti penghilangan atau pengurangan. “Premanisasi”: proses menjamurnya praktik premanisme dalam masyarakat.
Bahwa depremanisasi serupa dengan konsep “Demiliterisasi”, yaitu mengembalikan kontrol sipil dari dominasi militer. “Deradikalisasi”, yaitu melemahkan pengaruh paham ekstremis atau paham radikalisme. Maka, “Depremanisasi” adalah strategi untuk melemahkan dominasi kekuasaan informal berbasis kekerasan atau premanisme di masyarakat.
Sementara itu, menurut Guru Besar Hukum Tata Negara UIN Bandung, Ija Suntana (2025), depremanisasi dapat berbasis pada teori “Dekonstruksi Aura Kekerasan Michel Foucault”, Discipline and Punish (1975). Praktinya dapat berupa membongkar representasi preman di media, yaitu negara menghilangkan glorifikasi preman yang berguna di film, buku pelajaran, dan konten media.
Kemudian, negara mendekonstruksi otoritas preman melalui de-bodily display, yaitu menjauhkan preman dari simbol-simbol fisik kekuasaan: pakaian militer, postur dominan, dan iring-iringan motor; Dan, Reformasi Arsitektur spasialitas, artimya preman tidak diberi penguasaan ruang-ruang fisik yang kosong dari negara, seperti terminal, pasar malam, parkiran liar.
Berdasarkan uraian konteks, konsep, dan teori di atas, depremanisasi dapat dihadirkan sebagai energi baru untuk menghidupkan dan sekaligus menggerakan mesin-mesin kewargaan dan kenegaraan dalam penanganan premanisme yang komprehensif dan berkelanjutan.
Suatu energi kecendekiawanan dan kebudayaan yang disiapkan untuk menempuh perjalanan jarak jauh, dengan gerak langkah long march penurunan atau pun penghapusan paham-paham dan praktik-praktik premanisme. Gerak kolektif dengan saling bergandengan tangan untuk memastikan benih-benih ideologi kekerasan tidak mudah lagi tumbuh subur di lingkungan kebudayaan apa pun. Termasuk di kebudayaan semesta tanah ibu pertiwi.
POINT Consultant

