Korupsi
&
Premanisme
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptus dan corruptio yang secara harfiah berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, dan penyimpangan dari kesucian. Sedangkan menurut KBBI, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Korupsi merupakan tindakan yang dilakukan oleh oknum dari suatu pihak untuk memperkaya diri/golongan tertentu yang merugikan orang banyak.
Korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Korupsi dapat melibatkan banyak kegiatan yang meliputi penyuapan, penjualan pengaruh dan penggelapan dan mungkin juga melibatkan praktik yang legal di banyak negara.
Korupsi politik terjadi ketika pejabat atau pegawai pemerintah lainnya bertindak dengan kapasitas resmi untuk keuntungan pribadi. Korupsi paling umum terjadi di kleptokrasi, oligarki, negara-narkoba, dan negara bagian mafia.
Korupsi dan kejahatan adalah kejadian sosiologis endemik yang muncul dengan frekuensi reguler di hampir semua negara pada skala global dalam berbagai tingkat dan proporsi. Data terbaru menunjukkan korupsi sedang meningkat.
Setiap negara mengalokasikan sumber daya domestik untuk pengendalian dan pengaturan korupsi dan pencegahan kejahatan. Strategi-strategi yang dilakukan dalam rangka melawan korupsi sering kali dirangkum dalam istilah anti-korupsi.
Selain itu, prakarsa global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 16 juga memiliki target sasaran yang diharapkan dapat secara substansial mengurangi korupsi dalam segala bentuknya .
Korupsi Menurut Para Pakar.
Selain itu, beberapa definisi pakar menyatakan :
1. Baharuddin Lopa mengartikan korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan penyuapan, manipulasi, dan perbuatan lainnya sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan dan perekonomian negara, serta merugikan kesejahteraan dan kepentingan umum.
2. Subekti dan Tjitrosoedibio menyatakan bahwa korupsi merupakan perbuatan curang, dan tindak pidana yang merugikan negara.
3. Treisman mengartikan korupsi sebagai penyalahgunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi (misuse of public office for private gain).
4. Muhammad Ali sebagaimana dikutip oleh Agus Mulya Karsona, menjelaskan bahwa “korup” artinya busuk, suka menerima uang suap/sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. Dan, korupsi adalah perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya. Sedangkan koruptor adalah orang yang melakukan korupsi.
Jenis-jenis Korupsi .
Berikut penulis artikel paparkan 7 Jenis Korupsi antara lain:
Korupsi diatur di dalam 13 pasal di UU 31/1999 dan perubahannya yang kemudian dirumuskan menjadi 30 jenis-jenis tindak pidana korupsi. Ketiga puluh jenis tersebut disederhanakan ke dalam 7 jenis tindak pidana korupsi, yaitu korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.
Jenis-jenis korupsi tersebut akan dijelaskan dalam pembahasan berikut :
1. Merugikan Keuangan Negara
Pengertian murni merugikan keuangan negara adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang, Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), dan penyelenggara negara yang melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan melakukan tindak pidana korupsi.
Jenis korupsi yang terkait dengan kerugian keuangan negara diatur di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 (hal. 116 – 117). Adapun unsur-unsur korupsi yang mengakibatkan kerugian negara dalam kedua pasal tersebut adalah :
Adapun orang yang melanggar Pasal 2 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 dapat dipidana penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, dan denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar. Sedangkan orang yang melanggar Pasal 3 UU 31/1999 jo. Putusan MK No. 25/PUU-XIV/2016 dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun, dan/atau denda minimal Rp50 juta atau maksimal Rp1 miliar.
2. Suap-menyuap.
Berdasarkan artikel Ini Beda Gratifikasi, Suap, Pemerasan, dan Uang Pelicin, yang dilansir dari laman resmi Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, suap-menyuap adalah tindakan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar urusannya lebih cepat, meski melanggar prosedur. Suap-menyuap terjadi terjadi jika terjadi transaksi atau kesepakatan antara kedua belah pihak.
Kemudian, disarikan dari artikel Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini!, suap menyuap dapat terjadi kepada PNS, hakim maupun advokat, dan dapat dilakukan antar pegawai ataupun pegawai dengan pihak luar. Suap antar pegawai dilakukan guna memudahkan kenaikan pangkat atau jabatan. Sementara suap dengan pihak luar dilakukan ketika pihak swasta memberikan suap kepada pegawai pemerintah agar dimenangkan dalam proses tender.
Korupsi yang terkait dengan suap menyuap diatur di dalam beberapa pasal UU 31/1999 dan perubahannya, yaitu :
a. Pasal 5 UU 20/2001;
b. Pasal 6 UU 20/2001;
c. Pasal 11 UU 20/2001;
d. Pasal 12 huruf a, b, c, dan d UU 20/2001;
e. Pasal 13 UU 31/1999.
Contohnya, Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU 20/2001 dan Pasal 13 UU 31/1999 yang unsur-unsur pasalnya adalah sebagai berikut :
Ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 5 ayat (1) UU 20/2001 adalah pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun dan/atau pidana denda minimal Rp50 juta dan maksimal 250 juta. Sedangkan bagi orang yang melanggar Pasal 13 UU 31/1999, dapat dipidana penjara maksimal 3 tahun dan/atau denda maksimal Rp150 juta.
3. Penggelapan dalam Jabatan.
Penggelapan dalam jabatan adalah tindakan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga, melakukan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi, merobek dan menghancurkan barang bukti suap untuk melindungi pemberi suap, dan lain-lain.
Adapun, ketentuan terkait penggelapan dalam jabatan diatur di dalam Pasal 8 UU 20/2001, Pasal 9 UU 20/2001 serta Pasal 10 huruf a, b dan c UU 20/2001.
Contoh penggelapan dalam jabatan yang diatur dalam Pasal 8 UU 20/2001 memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan dalam menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu;
2. Dengan sengaja;
3. Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain menggelapkan atau membantu dalam melakukan perbuatan itu;
4. Uang atau surat berharga;
5. Yang disimpan karena jabatannya.
Kemudian, orang yang melanggar Pasal 8 UU 20/2001 berpotensi dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp750 juta.
Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (hal. 259), penggelapan memiliki kemiripan dengan arti pencurian. Bedanya dalam pencurian, barang yang dimiliki belum ada di tangan pencuri. Sedangkan dalam penggelapan, barang sudah berada di tangan pencuri waktu dimilikinya barang tersebut.
4. Pemerasan.
Pemerasan adalah perbuatan di mana petugas layanan yang secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna jasa untuk mempercepat layanannya, walau melanggar prosedur. Pemerasan memiliki unsur janji atau bertujuan menginginkan sesuatu dari pemberian tersebut.
Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf e, f, dan g UU 20/2001 memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
Selanjutnya, orang yang melanggar ketentuan di atas dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
5. Perbuatan Curang.
Perbuatan curang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan pribadi yang dapat membahayakan orang lain. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 20/2001 seseorang yang melakukan perbuatan curang diancam pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp350 juta.
Berdasarkan pasal tersebut, berikut adalah contoh perbuatan curang :
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang di atas;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) dan atau kepolisian melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau kepolisian dengan sengaja membiarkan perbuatan curang di atas.
6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan.
Contoh dari benturan kepentingan dalam pengadaan berdasarkan Pasal 12 huruf i UU 20/2001 adalah ketika pegawai negeri atau penyelenggara negara secara langsung ataupun tidak langsung, dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan padahal ia ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Adapun pelaku yang melakukan perbuatan ini dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.
Misalnya, dalam pengadaan alat tulis kantor, seorang pegawai pemerintahan menyertakan perusahaan keluarganya untuk terlibat proses tender dan mengupayakan kemenangannya.
7. Gratifikasi
Berdasarkan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan :
a. yang nilainya Rp10 juta atau lebih, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp10 juta, maka pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dibuktikan oleh penuntut umum.
Adapun sanksi pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang dianggap suap sebagaimana tersebut di atas, adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Namun demikian, perlu Anda catat bahwa apabila penerima melaporkan gratifikasi kepada KPK paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi diterima, maka sanksi atau ancaman pidana terkait gratifikasi tidak berlaku.
Negara dan Premanisme.
Fenomena premanisme bukan barang baru dan hanya muncul musiman menjelang hari raya atau hari besar lainnya. Sepanjang hidup kita selalu berdampingan dengan fenomena tersebut. Premanisme tidak mengenal tempat. Tidak mengenal waktu. Di segala situasi premanisme menampakkan pergerakan. Banyak analis menyoroti fenomena premanisme sebagai penanda suatu negara yang kurang berdaya dalam menjalankan fungsi fundamentalnya, di antaranya penegakan hukum dan keamanan. Negara yang tidak menegakkan hukum dengan tegas dan keamanan dengan serius akan menciptakan ruang kosong yang cepat diisi oleh kelompok informal.
Di Perancis, misalnya, para analis mengenalkan istilah "zone de non-droit" atau zona tanpa hukum. Istilah ini digunakan untuk menyebut kawasan-kawasan urban tertentu yang tidak terkontrol oleh negara kemudian dikontrol oleh otoritas informal yang mengendalikan aktivitas masyarakat.
Di zona tanpa hukum premanisme muncul sebagai bentuk otoritas alternatif, di mana geng-geng tertentu menjalankan fungsi yang seharusnya dijalankan oleh aparatur negara. Kawasan-kawasan yang seharusnya berdaulat otoritas formalnya dibiarkan “ditata” oleh aktor-aktor non-formal. Sementara itu, di Inggris berkembang istilah "postcode gangs", yaitu keberadaan geng-geng pemuda yang menguasai wilayah tertentu dan menggunakan ancaman kekerasan untuk mengontrol ekonomi melalui pemerasan.
Kehadiran geng-geng ini bukan sekadar karena kemiskinan, tetapi akibat dari lemahnya aparatur negara dalam menciptakan sistem sosial yang efektif dan berkeadilan.
Beberapa dekade terakhir, tren premanisme semakin naik di dunia. Di negara-negara Eropa Barat, yang dikenal memiliki sistem kesejahteraan terbaik di dunia, premanisme menunjukkan tren peningkatan. Di negara-negara miskin atau terbelakang, katalisator terbesar premanisme adalah kemiskinan. Terdapat hubungan antara tekanan ekonomi dan munculnya perilaku premanisme. Kemiskinan semakin memberikan celah premanisme ketika didongkrak oleh kelemahan negara.
Kelemahan negara tidak selalu berarti ketidakhadiran negara secara fisik, tetapi ketidakmampuan negara untuk menyesuaikan kebijakan keamanan dengan dinamika sosial yang berubah cepat. Artinya, premanisme bukan sekadar akibat dari lemahnya aparat keamanan, tetapi juga dari inkonsistensi kebijakan publik. Kebijakan yang terlalu lunak terhadap geng-geng yang anarkistis membuka celah hadirnya premanisme secara cepat.
Premanisme dan Korupsi.
Premanisme adalah kecenderungan aktor informal (preman) untuk menuntut jatah kekuasaan atau keuntungan ekonomi tanpa kontribusi produktif, sering melalui kekerasan atau ancaman.
Contoh sehari-harinya adalah praktik pungli oleh tukang parkir liar atau kelompok yang memaksakan perlindungan dengan imbalan uang. Fenomena premanisme mencakup organisasi kriminal jalanan hingga kolusi antara aparat dan kriminal.
Premanisme merupakan bagian dari wajah ideologi kekerasan. Wajah penuh keyakinannya bahwa dunia merupakan lingkungan serba membenarkan tindakan kekerasan dalam upaya meraih tujuan. Karenanya ia memosisikan dunia sebagai ruang-ruang sekawanan lawan yang harus dihadapi dan ditundukan dengan modal keberanian dan kekerasan.
Ideologi kekerasan tersebut identik juga dengan semua gerakan kelompok ekstrimis, teroris, dan radikalis saat mereka melancarkan tindakan-tindaknnya. Bagi mereka kekerasan adalah jalan yang paling pintas dan absah dalam memperjuangkan dan memenangkan ideologinya.
Sebagai ideologi kekerasan, premanisme tidak tumbuh subur pada lingkungan hidup tertentu saja. Namun, ia dapat cepat tumbuh sumbur di semua lingkungan hidup, termasuk pada lingkungan hidup kebudayaan.
Celakanya, premanisme tumbuh subur tidak selalu melalui cara-cara represif yang terbuka dan langsung, namun juga beroperasi secara tidak langsung, lebih halus dan menyebar luas pada individu-individu atau pun kelompok-kelompok melalui ideologi yang tertanam pada lembaga dan budaya.
Premanisme menciptakan iklim di mana kekerasan dan ancaman menjadi alat memperoleh uang atau kuasa. Kolusi aparat dengan preman jelas merupakan bentuk korupsi kekuasaan aparat menerima suap/upeti dari preman agar pembiaran terjadi, atau aparat menggunakan preman untuk tindak ilegal.
Contohnya :
Di masa Orde Baru hingga Reformasi, banyak oknum aparat plat merah, menerima jatah dari bandar judi, preman pasar, penyelundup, dan sebagainya, sebagai imbalan perlindungan.
Pandangan Pakar Tentang Premanisme.
1. Menurut Tim Lindsey.
Premanisme juga melahirkan biaya ekonomi tinggi.
Pengusaha kecil harus membayar uang keamanan, sopir truk membayar preman di jalan, yang hakikatnya adalah pungutan liar (pungli) hasil korupsi keamanan.
Fenomena backing preman oleh pejabat menumbuhkan state of fear di masyarakat dan erosi kepercayaan terhadap hukum.
Secara struktural, Lindsey menyebut pemerintahan Indonesia sebagai negara kriminal institusi negara justru terlibat aktif dalam kejahatan dan korupsi sistemik.
Tim Lindsey menyebut, pemerintah rezim Orde Baru hingga Orde Reformasi pada hakikatnya membangun sebuah negara preman (preman state).
Negara dijalankan bukan terutama dengan hukum dan birokrasi melainkan melalui logika preman: pejabat negara memperlakukan wilayah kekuasaannya seperti lahan garapan preman yang bisa dipalak seenaknya.
Fungsi negara sebagai pengatur keadilan sosial hampir absen; yang ada justru aparat yang menghisap sumber daya publik untuk keuntungan pribadi dengan impunitas hukum.
Lindsey berargumen bahwa Indonesia sejak awal kemerdekaan ketinggalan kereta dalam membangun kontrak sosial modern, para pendiri bangsa lebih menekankan negara sebagai simbol identitas dan persatuan, ketimbang merancang mekanisme kontrol agar negara melayani rakyat.
Akibatnya, institusi hukum (seperti pengadilan) lemah mengawasi kekuasaan, membuka ruang luas bagi kolusi antara aparat dan kriminal.
Premanisme Bagaikan Gurita Bak Jamur.
Pejabat publik tinggi hingga petugas rendahan terlibat praktek layaknya preman memungut upeti, sementara para preman asli merasa dilindungi kekuasaan. Sebuah studi mencatat bahwa kekuatan preman sebenarnya bukan sekadar pada otot atau kekerasannya, tapi pada jaminan backing politik yang membuatnya kebal hukum.
Pada era Reformasi (pasca-1998), premanisme bukannya lenyap, malah beradaptasi. Hilangnya kontrol terpusat Orde Baru memecah jaringan preman menjadi faksi-faksi lokal yang berafiliasi dengan politisi, ormas, atau penguasa daerah. Banyak organisasi massa bermunculan beberapa berbasis etnis atau agama yang sebagian anggotanya berperilaku preman.
Contoh nyata adalah fenomena kelompok LSM di berbagai penjuru negeri ini, dengan dalih ormas. Mereka kadang digunakan politisi lokal diberbagai daerah untuk menggalang dukungan atau menekan lawan dalam kontestasi Pilkada.
Dengan demokratisasi, preman juga memasuki politik formal: sejumlah eks-preman atau pimpinan ormas berpengaruh berhasil menduduki kursi legislatif atau jabatan pemerintahan. Endingnya, premanisme kian menyatu dengan oligarki politik dan ekonomi. Kegiatan ekonomi informal di perkotaan, seperti parkir liar, keamanan pasar, angkutan masih menjadi lahan subur preman hingga kini, yang berlangsung dengan toleransi (atau kolusi) aparat setempat.
Realitanya, premanisme mengakar dalam struktur sosial-politik Indonesia. Ia bukan sekadar kriminalitas biasa, tetapi seringkali terkait erat dengan patronase kekuasaan. Preman bertahan karena ada ekosistem yang mendukungnya: budaya impunitas, kebutuhan elit akan kaki tangan informal, lemahnya penegakan hukum, dan ekonomi yang belum sepenuhnya inklusif (masih banyak pengangguran yang akhirnya menjadi preman). Premanisme berkontribusi langsung terhadap maraknya korupsi dan kekerasan, karena para pelaku di luar maupun di dalam pemerintahan cenderung bertindak di atas hukum demi rente pribadi.
2. Mengutip karya Carolyn Nordstrom Shadows of War, yang menegaskan premanisme turut berperan sebagai bagian dari ekonomi bayangan di tengah kekacauan sosial dan politik suatu negara.
Premanisme juga menjadi bagian dari ekonomi kekerasan. Mereka mengatur aliran barang, uang, dan informasi di ruang abu-abu antara legal dan ilegal. Ini berdampak langsung pada kualitas demokrasi di negara berkembang.
Menurut Shohibul, pemberantasan premanisme tak cukup hanya dengan pendekatan hukum. Diperlukan reformasi institusional yang mampu memutus ketergantungan elite terhadap kekuasaan informal.
“Premanisme adalah cermin kekuasaan yang tidak sah. Kalau kita ingin menata negara yang adil dan demokratis, kita harus membongkar struktur kekuasaan ekstraktif yang melanggengkan kekerasan dan ketidakadilan.
3. Menurut pengamat sosial, Shohibul Anshor Siregar, menilai maraknya aksi premanisme di Indonesia merupakan cerminan dari wujud kekuasaan negara yang dijalankan secara ekstraktif, represif, dan informal.
Penilaiannya tersebut didasarkan pada fenomena premanisme yang selama ini kerap dianggap semata-mata sebagai masalah kriminalitas.
Jadi, premanisme ini mencerminkan wajah kekuasaan negara. Premanisme tak hanya soal pelanggaran hukum, melainkan juga bagian integral dari infrastruktur kekuasaan untuk menopang sistem institusi negara yang gagal.
Contoh Perbuatan Korupsi Dan Premanisme.
Fenomena seperti di Cilegon bukanlah hal baru. Selama dua dekade terakhir, proyek-proyek industri besar kerap kali menghadapi tekanan dari LSM maupun ormas lokal yang menuntut keterlibatan ataupun kompensasi.
Segala bentuk pungutan liar, baik oleh preman maupun pejabat, menambah biaya yang tidak seharusnya ada. Ini menciptakan ekonomi biaya tinggi, di mana untuk menghasilkan satu rupiah PDB, nilai investasi yang dibutuhkan jauh lebih besar dibandingkan negara-negara tetangga. Akibatnya, banyak investor yang akhirnya mundur sebelum masuk.
Seharusnya pembenahan tata kelola investasi mutlak diperlukan, terutama melalui penegakan hukum yang tegas terhadap praktik pemerasan oleh oknum aparat atau organisasi masyarakat.
Jika pungli dilakukan oleh pejabat, harus ada hukuman disiplin berat karena sudah masuk dalam kategori korupsi. Untuk itu, dia melihat penguatan institusi penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Polri menjadi krusial. Bahkan harus dimulai dari internal instansi masing-masing.
Sementara jika dilakukan oleh preman atau ormas, tambahnya, penegakan hukum harus berjalan tanpa pandang bulu. Ketika ada unsur pemerasan, itu sudah cukup menjadi dasar untuk membubarkan ormas tersebut, kecuali jika aparat penegak hukumnya kalah oleh tekanan.
Contohnya :
Proyek pabrik Chandra Asri Alkali (CAA) merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029, dengan total nilai investasi sebesar Rp 15 triliun.
Pabrik tersebut ditargetkan memproduksi 400.000 ton kaustik soda padat dan 500.000 ton Ethylene Dichloride (EDC) per tahun, guna mendukung hilirisasi industri dan mengurangi ketergantungan impor hingga Rp4,9 triliun. Tak hanya itu, proyek ini juga berpotensi menyumbang devisa ekspor EDC sebesar Rp5 triliun per tahun.
Selama masa konstruksi, proyek ini menyerap sekitar 3.000 tenaga kerja, dan akan membuka 250 lapangan kerja tetap saat operasional dimulai. Proyek ini juga diharapkan turut mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional hingga mencapai target 8% sebagaimana tertuang dalam Asta Cita RPJMN.
Hubungan Korupsi Dan Premanisme.
Korupsi dan premanisme adalah dua masalah yang saling berkaitan dan dapat memperburuk kondisi sosial dan ekonomi suatu negara. Korupsi, yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, menciptakan ruang bagi premanisme untuk tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, premanisme dapat menjadi alat yang digunakan dalam praktik korupsi, menciptakan lingkaran setan yang sulit dihentikan.
Hubungan Korupsi dan Premanisme :
1. Korupsi Memfasilitasi Premanisme:
Praktik korupsi, terutama di kalangan aparat penegak hukum, dapat menciptakan iklim di mana premanisme dapat beroperasi dengan bebas. Aparat yang korup mungkin menerima suap atau imbalan dari preman untuk membiarkan kegiatan ilegal mereka, atau bahkan menggunakan preman untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum.
2. Premanisme sebagai Alat Korupsi:
Di sisi lain, premanisme juga dapat menjadi alat yang digunakan dalam praktik korupsi. Preman dapat digunakan untuk mengintimidasi atau mengancam pihak-pihak yang menentang korupsi, atau untuk memaksakan kehendak pihak-pihak yang terlibat dalam praktik korupsi.
3. Korupsi dan Premanisme Menciptakan Ketidakadilan:
Korupsi dan premanisme sama-sama menciptakan ketidakadilan dan ketidakpercayaan terhadap sistem. Korupsi merugikan negara dan masyarakat, sementara premanisme menciptakan rasa takut dan tidak aman di masyarakat.
4. Korupsi dan Premanisme Melemahkan Demokrasi:
Korupsi dan premanisme dapat melemahkan sendi-sendi demokrasi. Korupsi merusak kepercayaan pada lembaga-lembaga negara, sementara premanisme dapat mengancam kebebasan berpendapat dan hak-hak sipil.
Contoh Hubungan :
- Seorang pengusaha yang ingin memenangkan tender proyek pemerintah mungkin menyuap oknum pejabat dan juga membayar preman untuk mengintimidasi pesaingnya agar tidak ikut tender.
- Aparat penegak hukum yang korup mungkin membiarkan kegiatan perjudian ilegal atau prostitusi beroperasi karena menerima suap dari pelaku kejahatan tersebut, yang juga melibatkan preman.
- Politisi yang berkolusi dengan preman untuk mendapatkan dukungan suara atau untuk menekan lawan politik.
Pentingnya Penanganan :
Korupsi dan premanisme adalah dua masalah serius yang membutuhkan penanganan yang komprehensif. Selain upaya penegakan hukum yang tegas, perlu juga dilakukan upaya pencegahan melalui pendidikan antikorupsi, penguatan lembaga-lembaga negara, dan pemberdayaan masyarakat.
Dasar Hukum :
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Putusan :
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.
Sumber Referensi :
- Asriana Issa Sofia (et al.). Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud RI, 2011;
- Ismail. Kajian Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Legalite: Jurnal Perundang- Undangan dan Hukum Pidana Islam, Vol. 2, No. 2, 2018;
- Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Panduan Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK, 2006;
- Mangihut Siregar. Antikorupsi. Surabaya: UWKS Press, 2023;
- R. Soesilo. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Bogor: Politea, 1986;
- Rizki Ramadhani (et al.). Problematika Tindak Pidana Korupsi. Indramayu: Penerbit Adab, 2024;
- Tim Garda Tipikor. Kejahatan Korupsi. Yogyakarta: Rangkang Education, 2016;
- Ayo Kenali dan Hindari 30 Jenis Korupsi Ini!, Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, diakses pada Senin, 23 Juni 2025, pukul 17.15 WIB;
- Ini Beda Gratifikasi, Suap, Pemerasan, dan Uang Pelicin, Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, diakses pada Senin, 23 Juni 2025, pukul 17.30 WIB;
- Korupsi, KBBI, diakses pada Senin, 23 Juni 2025, pukul 17.00 WIB.
Penulis Artikel : POINT Consultant






