Makna Hidup
Yudi Latif
Saudaraku, hidup, pada dirinya sendiri, hanyalah sekadar keberadaan—sunyi, netral, tanpa maksud. Seperti tanah liat yang belum disentuh tangan seniman, ia menanti diukir, ditata, ditafsirkan. Tak ada makna yang terberi; manusialah yang harus hadir sebagai penenun arti.
Makna tak lahir dari kebetulan, melainkan dari keberanian manusia membangun sistem nilai. Nilai etis membedakan yang baik dari yang buruk—seperti cahaya memisahkan siang dari malam. Nilai logis mengurai yang benar dari yang keliru, ibarat mata air yang jernih dan keruh. Nilai estetis mengenali rupa yang pantas dan ganjil, seperti mata menangkap harmoni warna. Nilai pragmatis meraba maslahat dan mudarat, seperti akar yang mencari tanah subur. Dan nilai spiritual membedakan yang mencerahkan dan yang menggelapkan—seperti bintang di langit pekat yang menunjuk arah, meski tak bersuara.
Dari jalinan nilai-nilai itulah budaya tumbuh—bukan sekadar warisan, melainkan ikhtiar terus-menerus manusia memberi makna atas hidup. Budaya adalah cara jiwa meraba dunia, cara akal merangkai terang di tengah semesta yang tak pasti. Ia hadir dalam bahasa, gerak, keyakinan—dalam cara kita mencintai, memuliakan, dan membayangkan sesuatu yang lebih tinggi dari diri.
Pada akhirnya, manusia tak diukur dari seberapa lama ia hidup, melainkan dari makna yang berhasil ia sulam dalam keberadaannya. Dan makna itu berpijak pada mutu budaya yang ia hidupi—pada keluhuran nilai yang ia rawat, pada keberanian memilih terang meski zaman mengajak berjalan dalam kelam. Walhasil, hidup tanpa keluhuran budaya adalah hidup yang sia-sia, miskin arti—seperti mayat berjalan: bergerak tanpa jiwa, bernapas tanpa arah.
https://www.instagram.com/p/DMd4NAozLPB/?igsh=MWMycGRrY2YybGI0Mg==

