Premanisme Ormas atau Negara
Premanisme yang berkedok organisasi massa (ormas) adalah masalah serius yang melibatkan aksi kekerasan, pemerasan, dan tindakan lain yang merugikan masyarakat, yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang mengaku sebagai anggota ormas. Ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga mencerminkan kegagalan negara dalam memberikan perlindungan dan penegakan hukum yang efektif.
Premanisme Ormas.
Fenomena ini mengacu pada tindakan premanisme yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang mengatasnamakan ormas, seringkali dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, seperti pemerasan, intimidasi, dan penguasaan lahan atau bisnis.
Tantangan Bagi Negara.
Premanisme berkedok ormas menjadi tantangan bagi negara karena merongrong kewibawaan negara dalam menegakkan hukum dan melindungi masyarakat.
Penyebab.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan munculnya premanisme berkedok ormas adalah :
- Kelemahan Penegakan Hukum: Jika penegakan hukum tidak efektif, premanisme dapat tumbuh subur karena pelaku merasa tidak akan mendapatkan hukuman yang setimpal.
- Keterlibatan Elit Politik: Ada indikasi bahwa beberapa ormas memiliki hubungan dengan elit politik, yang dapat memberikan mereka perlindungan atau bahkan memanfaatkan mereka untuk kepentingan politik.
- Kesenjangan Sosial Ekonomi: Kesenjangan sosial ekonomi dapat mendorong orang untuk mencari jalan pintas, termasuk terlibat dalam kegiatan premanisme.
- Kurangnya Kesadaran Hukum: Kurangnya pemahaman tentang hukum dan hak-hak individu dapat membuat masyarakat rentan menjadi korban premanisme.
Dampak Negatif :
- Premanisme berdampak negatif pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk:
- Rasa Tidak Aman: Masyarakat merasa tidak aman dan khawatir menjadi korban kekerasan atau pemerasan.
- Gangguan Investasi: Aksi premanisme dapat menghambat investasi karena investor merasa khawatir dengan keamanan bisnis mereka.
Kerusakan
- Infrastruktur: Premanisme dapat menyebabkan kerusakan pada infrastruktur dan fasilitas umum.
- Konflik Sosial: Premanisme dapat memicu konflik sosial antar kelompok masyarakat.
Upaya Penanggulangan :
- Upaya penanggulangan premanisme yang berkedok ormas membutuhkan pendekatan yang komprehensif, termasuk:
- Penegakan Hukum yang Tegas: Penegakan hukum yang adil dan konsisten terhadap pelaku premanisme, tanpa pandang bulu.
- Pendidikan dan Penyuluhan Hukum: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka dan konsekuensi hukum dari tindakan premanisme.
Pemberdayaan
- Ekonomi: Memberikan kesempatan ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat, terutama mereka yang rentan menjadi korban atau pelaku premanisme.
- Penguatan Peran Ormas: Mendorong ormas untuk berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat dan pembangunan sosial, bukan sebaliknya.
- Kolaborasi Antar Lembaga: Memperkuat koordinasi antara pemerintah, aparat penegak hukum, ormas, dan masyarakat dalam menanggulangi premanisme.
Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, hubungan antara negara dan masyarakat idealnya bersifat simbiosis mutualisme, di mana negara berperan sebagai pelayan yang mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, negara seringkali berperan sebagai penguasa yang otoritatif tanpa melibatkan partisipasi publik. Ketika hal ini terjadi, muncul fenomena yang dikenal sebagai premanisme negara, di mana kekuasaan digunakan secara sewenang-wenang untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Fenomena ini tidak hanya merusak tatanan pemerintahan yang demokratis, tetapi juga menjadi akar dari munculnya premanisme di tingkat masyarakat.
Premanisme dapat didefinisikan sebagai tindakan kekerasan, pemaksaan, atau penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang melanggar hukum atau norma sosial. Premanisme muncul akibat lemahnya penegakan hukum, budaya korupsi yang mengakar, serta ketimpangan sosial dan ekonomi yang mendorong individu atau kelompok tertentu untuk mengambil keuntungan secara paksa. Ketika negara sendiri menerapkan praktik premanisme dalam berbagai bentuknya, masyarakat cenderung meniru pola tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, premanisme negara menjadi contoh buruk yang kemudian melahirkan praktik premanisme di berbagai sektor lainnya.
Dalam teori good governance, terdapat tiga pilar utama yang harus berperan secara seimbang untuk memastikan tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat madani. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum dan memberikan pelayanan publik yang adil serta transparan. Sektor swasta harus beroperasi dalam koridor etika bisnis yang sehat dan bebas dari praktik korupsi. Sementara itu, masyarakat madani berperan sebagai pengawas kebijakan publik, memastikan adanya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Ketika salah satu pilar ini tidak berfungsi dengan baik, praktik penyalahgunaan wewenang semakin mudah terjadi, memperburuk ekosistem premanisme negara.
Salah satu bentuk paling nyata dari premanisme negara adalah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah. Penyalahgunaan ini mencakup berbagai tindakan, seperti penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, diskriminasi dalam pelayanan publik, pelanggaran hak asasi manusia, serta manipulasi dalam proses pengambilan kebijakan. Misalnya, seorang pejabat yang menerima suap atau gratifikasi untuk meloloskan kebijakan tertentu bukan hanya merugikan masyarakat secara langsung, tetapi juga memperkuat budaya korupsi di dalam pemerintahan. Dalam buku Why Nations Fail, disebutkan bahwa institusi yang eksklusif cenderung menghasilkan praktik oligarki yang memperkuat kekuasaan segelintir elit sambil menekan hak-hak masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pemerintahan tidak dijalankan secara inklusif dan demokratis, peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang semakin besar.
Selain penyalahgunaan wewenang, kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan aspirasi masyarakat juga menjadi bukti lain dari premanisme negara. Kebijakan yang tidak transparan dan tidak partisipatif sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan sosial dan ekonomi. Contohnya dapat dirasakan oleh masyarakat dalam kasus Omnibus Law dan perubahan UU TNI, di mana proses legislasi dilakukan secara tergesa-gesa dan minim partisipasi publik. Akibatnya, kebijakan ini menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai elemen masyarakat yang merasa kepentingan mereka tidak diperhitungkan. Sejalan dengan pemikiran dalam buku The Logic of Political Survival, pemimpin yang lebih peduli pada kelangsungan kekuasaan mereka cenderung menciptakan kebijakan yang menguntungkan kelompok elit tertentu daripada kepentingan umum.
Selain kebijakan yang tidak partisipatif, birokrasi yang kompleks dan korup juga menjadi manifestasi lain dari premanisme negara. Hampir setiap aspek kehidupan masyarakat, mulai dari pengurusan akta kelahiran, KTP, SIM, hingga izin usaha, diatur oleh prosedur birokrasi yang rumit dan sering kali disertai dengan biaya tambahan yang tidak resmi. Hal ini menciptakan ketidaknyamanan dan ketidakpastian bagi masyarakat dalam mengakses layanan publik. Alih-alih memberikan pelayanan yang efisien, birokrasi yang berbelit-belit justru membuka peluang bagi praktik korupsi di kalangan pejabat pemerintahan. Masyarakat yang merasa tidak memiliki pilihan sering kali terpaksa memberikan uang pelicin demi memperlancar urusan mereka. Dalam buku Corruption: What Everyone Needs to Know, dijelaskan bahwa birokrasi yang tidak akuntabel sering kali menjadi sumber utama penyebaran praktik korupsi di berbagai negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa premanisme negara telah menciptakan ekosistem korupsi yang merugikan masyarakat luas.
Premanisme yang tumbuh di dalam tubuh pemerintahan pada akhirnya juga merambah ke tingkat masyarakat. Salah satu contoh nyata adalah bagaimana organisasi kemasyarakatan (ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyalahgunakan peran mereka. Beberapa ormas dan LSM tidak lagi menjalankan fungsi sosialnya, tetapi justru menjadi alat untuk memeras industri atau meminta jatah tertentu dari pelaku usaha. Fenomena ini sering kali terjadi menjelang hari raya, di mana beberapa kelompok menuntut tunjangan hari raya (THR) secara paksa dari para pengusaha. Hal ini menunjukkan bahwa premanisme negara telah memberikan teladan buruk bagi masyarakat. Ketika negara melalui aparaturnya melakukan penyalahgunaan wewenang dan tidak memberikan pelayanan yang baik, masyarakat melihat dan meniru pola tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Dengan kata lain, premanisme yang dilakukan negara menjadi akar dari tumbuhnya praktik premanisme di berbagai sektor lainnya.
Premanisme yang terjadi di berbagai sektor juga berdampak buruk terhadap dunia industri dan investasi. Para pengusaha sudah sering mengeluhkan bahwa praktik premanisme yang dilakukan oleh berbagai pihak—mulai dari ormas, oknum birokrasi, hingga aparat keamanan—telah menciptakan beban ekonomi yang tinggi. Biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk menghadapi premanisme ini menjadikan sektor industri di Indonesia lebih mahal dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Akibatnya, daya saing Indonesia dalam menarik investasi menjadi semakin lemah, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Untuk mengatasi premanisme yang semakin merajalela, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dan pemerintah. Pemerintah perlu melakukan reformasi birokrasi guna mengurangi kompleksitas perizinan dan meminimalkan peluang terjadinya korupsi. Selain itu, penegakan hukum yang tegas terhadap oknum pejabat yang menyalahgunakan wewenang serta ormas dan LSM yang melakukan praktik premanisme harus dilakukan tanpa pandang bulu. Tidak kalah penting, pendidikan antikorupsi dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka juga harus diperkuat agar budaya premanisme tidak terus berkembang.
Pada akhirnya, premanisme negara yang ditandai dengan penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintah dan birokrasi yang korup telah menjadi sumber utama munculnya premanisme di tingkat masyarakat. Ketika pemerintah tidak menjalankan fungsinya sebagai pelayan masyarakat dan justru bertindak sebagai penguasa yang memaksakan kehendaknya, maka lahirlah praktik-praktik ilegal yang merugikan rakyat. Jika negara ingin benar-benar memberantas premanisme di masyarakat, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan praktik premanisme dalam tubuh pemerintah itu sendiri. Tanpa perbaikan dari dalam, segala upaya pemberantasan premanisme di masyarakat hanya akan menjadi sia-sia. Kita menunggu presiden untuk memberi pesan bahwa Negara tidak kalah dengan premanisme.
POINT Consultant

