Pasal 134 :
Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(Untuk lebih jelasnya Pasal 134 pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP)
Untuk lebih jelasnya Pasal 134, pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP berbunyi sebagai berikut :
Pasal 134 :
Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Masyarakat saat ini memiliki kebebasan untuk berpendapat dan melakukan kritik terhadap pemerintah. Namun tetap saja kritikan tersebut tidak boleh sampai melanggar aturan sehingga lebih kepada penghinaan. Menghina presiden atau pemerintahan di Indonesia memiliki dasar hukum tersendiri. Pelaku bahkan bisa mendapatkan hukuman penjara jika terbukti melakukan penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden.
Dasar Hukum Penghinaan Presiden di Indonesia.
Presiden sebagai kepala negara memang menjadi sosok yang seharusnya dihormati oleh masyarakat. Tapi di negara demokrasi, warga negara juga memiliki hak untuk mengkritik pemerintahan terutama kebijakannya.
Batasan antara kritik dan penghinaan kadang menjadi hal yang menjadi perdebatan. Tak heran jika kemudian banyak yang mempertanyakan terkait dengan dasar hukum penghinaan presiden. Apalagi pelaku bisa mendapatkan hukuman pidana jika terbukti.
Hukum menghina presiden di Indonesia termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada pasal 218 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang yang menyerang kehormatan/harkat dan martabat presiden atau wakil presiden bisa mendapat pidana penjara. Hukuman penjara bagi pelaku yaitu paling lama 3 tahun dan/atau denda paling banyak kategori IV.
Di pasal lainnya yaitu pada pasal 219 juga menjelaskan tentang masalah menyebarluaskan informasi penyerangan kehormatan presiden atau wapres melalui media gambar, tulisan, rekaman, atau melalui sarana teknologi. Pelaku yang dimaksud dalam pasal ini bisa mendapat pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda kategori IV.
Jadi penghinaan bisa dalam berbagai bentuk, apalagi di zaman teknologi seperti saat ini. Banyak masyarakat yang kurang bijak dalam menggunakan teknologi seperti sosial media.
Pada pasal 240 ayat 1 KUHP menyebutkan tentang penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara secara lisan atau tulisan di muka umum. Pelaku bisa mendapatkan hukuman pidana berupa penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau denda maksimal kategori II. Jadi penghinaan yang mendapat hukuman negara tidak hanya pada presiden saja tapi juga lembaga negara.
Pada pasal 241 ayat 1 juga menyebutkan terkait penyebaran tulisan, gambar, rekaman, serta penyebarluasan sarana teknologi informasi berisi penghinaan lembaga negara. Pelaku bisa mendapat hukuman penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal kategori IV.
Penghinaan pada pemerintah memang menjadi hal yang terus menjadi perdebatan apakah perlu untuk mendapatkan hukuman pidana seperti itu. Apalagi jika batas kritik dan penghinaan kadang menjadi tidak jelas sehingga bisa menyerang balik kebebasan berpendapat.
Masyarakat sendiri memang seharusnya bisa melakukan kritik secara bijak dan beretika. Apalagi di era sosial media seperti saat ini. Semua orang dapat membuat tulisan, gambar, video, atau media lainnya dan menyebarluaskannya dengan mudah. Jika malah memanfaatkannya untuk menyebarkan informasi sesat dan penghinaan tentu bisa mengakibatkan ancaman pidana.
Kasus Menghina Presiden di Indonesia
Kasus-kasus penghinaan presiden di Indonesia bisa menjadi cerminan bagaimana penerapan hukum terhadap pelaku. Ada beberapa pelaku yang bisa lolos dan ada juga yang mendapat hukuman pidana. Banyak juga dari kasus ini yang malah terjerat pasal ITE. Kasus-kasus ini juga perlu masyarakat ketahui sehingga bisa melakukan kritik dengan tepat dan tidak melanggar pasal penghinaan.
Menghina dan Mengedit Gambar Presiden di Sosial Media
Seorang siswa SMK menjadi tersangka karena menghina dan mengedit gambar presiden. Ia terjerat UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Melalui akun media sosial Facebook, pelaku kerap memposting status yang berisi hinaan terhadap polisi dan presiden. Polisi kemudian melakukan penangkapan terhadap pelaku. Pelaku mengaku melakukan hal tersebut karena tidak puas dengan kinerja presiden.
Membuat Coretan Penghinaan Presiden di Tiang Jalan Tol
Polisi menangkap pria yang diduga melakukan penghinaan presiden dan kapolri. Penangkapan tersebut terjadi karena pelaku menulis hinaan berupa coretan pada tiang dan kontainer yang ada di bawah jalan tol. Pelaku sendiri tidak bisa menyebutkan motif apa yang membuatnya melakukan tindakan tersebut. Setelah pengetesan, ternyata pelaku positif menggunakan narkoba amfetamin.
Menyebarkan Foto Presiden dengan Kalimat Pornografi
Kasus lainnya yang juga termasuk dalam menghina presiden yaitu penyebaran foto presiden bersama seorang artis perempuan. Bersama dengan foto tersebut juga terposting tulisan yang mengandung unsur pornografi. Pelaku akhirnya menjadi tersangka kasus penyebaran konten pornografi.
Penyebaran Ujaran Kebencian dan Hoax Tentang Presiden
Polisi melakukan penangkapan terhadap pria yang kerap memposting unggahan berisi ujian kebencian dan informasi bohong terkait presiden. Ia mengedit foto-foto presiden dan mengunggahnya di akun media sosial. Foto editan tersebut diduga mengandung unsur penghinaan presiden.
Penyebaran Konten Kebencian, SARA, dan Penghinaan Presiden
Pada Agustus 2017, polisi melakukan penangkapan terhadap seorang yang kerap memposting ujaran kebencian di sosial media. Tak hanya mengunggah postingan terkait penghinaan terhadap presiden tapi juga pada parpol dan ormas. Ia juga menyebarkan berita bohong dan rasisme. Penyidik bekerja sama dengan beberapa ahli bahasa terkait perkara ini.
Penghinaan Presiden Melalui Berita
Seorang redaktur koran terjerat kasus penghinaan terhadap presiden pada tahun 2003. Ia beberapa kali menulis judul berita yang diduga mengandung unsur penghinaan pada presiden. Pelaku kemudian diadili dan mendapatkan hukuman penjara selama 6 bulan. Pengadilan menggunakan KUHP Pasal 137 ayat 1 tentang perbuatan menyiarkan tulisan atau lukisan yang menghina presiden atau wapres untuk mengadilinya.
Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki undang-undang tersendiri terkait penghinaan presiden. Berbeda dengan negara seperti Amerika Serikat yang tidak mempermasalahkan terkait penghinaan presiden. Di sana warga yang melakukan penghinaan terhadap presiden bukan berarti melakukan tindak pidana. Asalkan pendapat mereka tersebut tidak mengancam keselamatan nasional maka tidak menjadi masalah.
Beberapa kasus yang terkait dengan menghina presiden dan lembaga negara di Indonesia kerap menggunakan dasar hukum yang berbeda. Ada yang lebih menggunakan dasar hukum UU ITE karena berada di ranah media sosial. Beberapa kasus juga meloloskan pelaku dari hukuman pidana.
Sebagai warga negara tentunya akan lebih baik jika menyampaikan kritik dengan cara yang beretika. Kritik tersebut bisa langsung mengarah kepada kebijakan atau perilaku bukan pada penghinaan dan personal dari pemegang kekuasaan. Pihak pemerintah juga sebaiknya tidak anti kritik sehingga terjadi keseimbangan dalam demokrasi.
Kritik sebagai Wujud Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
Secara konseptual, Indonesia merupakan negara hukum yang menerapkan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Penegakan prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia itu tergambar jelas dalam konstitusi yang memberikan kebebasan warga negara untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat. Hal tersebut termaktub dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 25 UU HAM.
Kebebasan berekspresi dan mengemukakan berpendapat merupakan bagian dari hak dasar manusia yang diakui masyarakat internasional sesuai Pasal 19 DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Perancis.[1] Kebebasan berpendapat juga bagian hak asasi manusia bidang sipil dan politik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 19 KIHSP (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12/2005.
Salah satu bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam kehidupan bernegara antara lain melakukan kritik terhadap pemerintah atau aparatur/pejabat negara seperti presiden, menteri, anggota DPR dan pejabat negara lainnya.
Harold Crouch menerangkan bahwa ada hak-hak tertentu yang memang baru dapat dinikmati ketika proses demokratisasi telah dimulai seperti hak untuk mengkritik pemerintah apa adanya. Dengan kata lain, hak tersebut hanya dapat terjadi dalam negara yang menganut sistem demokratis. Oleh karena hak sipil politik adalah hak negatif, maka hak-hak dan kebebasan tersebut akan terpenuhi apabila peran negara dibatasi.[2]
Namun, hak atas kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang dapat dikurangi pemenuhannya oleh negara.[3] Pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat itu diatur di dalam Pasal 19 ayat (3) KIHSP yang menyatakan bahwa pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus.
Oleh karena itu, dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk :
- menghormati hak atau nama baik orang lain;
- melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.
Sebab hak atas kebebasan berekspresi dijamin oleh hukum, lantas apakah mengemukakan kritik yang ditujukan untuk presiden dan/atau wakil presiden dapat dikenai pasal penghinaan presiden?
Pasal Penghinaan Presiden
Pasal penghinaan terhadap presiden sebelumnya diatur di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan. Namun, pasal penghinaan presiden dibatalkan MK karena telah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 (hal. 62).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan pidana penghinaan presiden dalam KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Hal itu secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi yang dijamin Pasal 28F UUD 1945 (hal 60).
Selain itu, pasal penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden itu bertentangan dengan prinsip kedaulatan berada di tangan rakyat karena pada dasarnya presiden dan/atau wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga ia bertanggung jawab kepada rakyat. Martabat presiden dan/atau wakil presiden berhak dihormati secara protokoler, namun kedua pemimpin ini tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkan memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga lainnya (hal. 59).
Terlebih, ketiga pasal tersebut berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi tatkala ketiga pasal pidana itu selalu digunakan aparat penegak hukum pada momentum unjuk rasa di lapangan (hal. 60).
Mahkamah Konstitusi juga menilai bahwa ketiga pasal itu juga dapat menjadi hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Karena upaya melakukan klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (hal. 61).
Namun, dalam UU 1/2023tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan[4] yaitu tahun 2026 justru mengatur kembali ketentuan pidana atas perbuatan penghinaan atau menyerang kehormatan/harkat martabat terhadap presiden dan/atau wakil presiden.
Hal tersebut termaktub di dalam Pasal 218 dan Pasal 219 UU 1/2023 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 218 UU 1/2023
Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pasal 219 UU 1/2023
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.[5]
Namun, dalam Pasal 218 ayat (1) UU 1/2023 tersebut dikecualikan ketika perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.[6]
Adapun, yang dimaksud dengan “kepentingan umum” diterangkan dalam Penjelasan Pasal 218 ayat (2) UU 1/2023 yaitu melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi seperti melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden/wakil presiden.
Lebih lanjut, dalam negara demokrasi, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan/atau wakil presiden. Pada dasarnya, kritik dalam Pasal 218 UU 1/2023 merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.[7]
Sedangkan, untuk perbuatan dalam Pasal 219 UU 1/2023 yaitu menyiarkan, menempelkan tulisan atau gambar, mendengarkan rekaman dan menyebarkan sarana informasi yang berisikan materi yang menghina atau menyerang kehormatan presiden/wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum tidak terdapat pengecualian seperti Pasal 218 UU 1/2023. Termasuk dalam hal ini tidak ada pengecualian seperti “untuk kepentingan umum” berupa kritik atau menyatakan pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden/wakil presiden.
Adanya perbedaan ketentuan tindak pidana penghinaan presiden dalam Pasal 218 dan 219 UU 1/2023 dapat menimbulkan kesewenang-wenangan penegakan hukum atas dugaan tindak pidana penghinaan presiden/wakil presiden di kemudian hari setelah berlakunya KUHP baru.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saat ini sampai dengan awal tahun 2026, tidak ada ketentuan pidana terhadap perbuatan penghinaan presiden dan/atau wakil presiden.
Namun, pasca UU 1/2023 tentang KUHP baru mulai berlaku, akan berlaku pula pasal penghinaan presiden/wakil presiden. Akan tetapi, ada pengecualian terhadap perbuatan mengkritik presiden atau wakil presiden yang tidak dapat dikenakan Pasal 218 ayat (1) UU 1/2023.
Dasar Hukum :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik);
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan :
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Sumber Referensi :
Ersa Kusuma dkk. Kebebasan Berpendapat dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Sanskara Hukum dan HAM, Vol. 01, No. 03, April 2023;
Muhardi Hasan dan Estika Sari. Hak Sipil dan Politik. Jurnal Demokrasi, Vol. 1 No. 1, 2005.
[1] Ersa Kusuma dkk. Kebebasan Berpendapat dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Sanskara Hukum dan HAM, Vol. 01, No. 03, April 2023, hal. 99
[2] Muhardi Hasan dan Estika Sari. Hak Sipil dan Politik. Jurnal Demokrasi Vol. 1 No. 1, 2005, hal. 98
[3] Muhardi Hasan dan Estika Sari. Hak Sipil dan Politik. Jurnal Demokrasi Vol. 1 No. 1, 2005, hal. 97
[4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)
[5] Pasal 218 ayat (1) UU 1/2023
[6] Pasal 218 ayat (2) UU 1/2023
[7] Penjelasan Pasal 218 ayat (2) UU 1/2023
Artikel by POINT Consultant

