Fatmawati Dengan Berat Hati & Hati Tersayat Meninggalkan Istana
Hatinya Terluka, Fatmawati Melangkahkan Kaki Meninggalkan Istana dan Bung Karno.
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, nama Fatmawati Soekarno tak hanya dikenal sebagai penjahit bendera pusaka Merah Putih, tetapi juga sebagai sosok wanita tegar yang menyimpan kisah cinta penuh luka di balik gemerlap kemerdekaan. Di balik senyum anggunnya sebagai Ibu Negara pertama Republik Indonesia, tersembunyi kepedihan seorang istri yang harus memilih antara cinta dan harga diri.
Sejak awal, Fatmawati dikenal sebagai perempuan berhati lembut dan penuh pengabdian. Demi cintanya kepada sang Proklamator, Sukarno, ia rela meninggalkan tanah kelahirannya di Bengkulu dan menapaki jalan perjuangan bersama sang suami. Di masa-masa sulit menuju kemerdekaan, ia menjadi sosok yang selalu ada di sisi Bung Karno memberi semangat, doa, dan kasih tanpa pamrih.
Namun, kisah cinta yang indah itu perlahan berubah menjadi pilu. Setelah Indonesia merdeka dan Sukarno diangkat sebagai Presiden pertama, Fatmawati resmi menjadi First Lady Indonesia. Tapi kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Di balik kemegahan Istana Merdeka, badai rumah tangga mulai mengguncang.
Suatu siang, tak lama setelah kelahiran putra bungsunya Guruh Soekarnoputra, Fatmawati menghampiri Sukarno. Dengan mata teduh namun penuh kepastian, ia berkata pelan namun tegas, “Di sini bukan rumahku lagi, keadaan kita sudah lain.” Kalimat itu menjadi perpisahan terakhir di antara mereka. Tanpa keributan, tanpa tangisan yang meledak, Fatmawati melangkah keluar dari Istana Merdeka sambil mengucap bismillah.
Ia pergi dengan hati remuk, meninggalkan suami dan anak-anaknya kecuali Guruh, sang bayi kecil yang dibawanya ke rumah sederhana di Jalan Siliwangi, Kebayoran Baru. Winoto Danuasmoro, sahabat dekat Sukarno, mencoba membujuk Fatmawati agar kembali ke istana, namun sia-sia. Dalam tangis yang tertahan, Fatmawati hanya meminta satu hal: agar anak-anaknya dijaga dan tidak kekurangan kasih sayang.
Alasan di balik kepergiannya begitu menyayat hati. Setelah melahirkan Guruh pada 13 Januari 1953, kondisi kesehatannya melemah. Dokter menyarankan agar ia tak lagi mengandung karena berisiko bagi nyawanya. Namun di tengah masa pemulihan itu, Bung Karno datang dengan sebuah kabar yang mengoyak nuraninya.
“Fat, aku mau minta izinmu. Aku akan kawin dengan Hartini,” ucap Sukarno suatu hari.
Fatmawati menolak dengan tegas. Sejak awal, ia tidak pernah setuju dengan poligami. Baginya, cinta dan kesetiaan adalah satu. Jika Sukarno tetap melangkah, ia memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya. Dan begitulah akhirnya Sukarno menikahi Hartini, meski menuai penolakan dari banyak pihak, terutama organisasi-organisasi wanita di Indonesia.
Meski hatinya terluka, masyarakat tetap memandang Fatmawati sebagai Ibu Negara sejati perempuan yang memadukan kelembutan dan ketegasan, cinta dan kehormatan. Dalam diamnya, ia menunjukkan kekuatan sejati seorang wanita Indonesia: berani mencintai, berani berkorban, dan berani melepaskan demi menjaga harga diri.
Fatmawati Soekarno: Sang Penjahit Merah Putih
Di antara deru perjuangan dan semangat kemerdekaan Indonesia, nama Hajjah Fatmawati Soekarno bersinar sebagai simbol keanggunan, ketulusan, dan patriotisme sejati. Lahir di Bengkulu pada 5 Februari 1923, Fatmawati bukan hanya dikenal sebagai istri ketiga Presiden Soekarno, sang Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, tetapi juga sebagai Ibu Negara pertama yang mengukir sejarah dengan benang dan jarum di tangannya.
Dengan penuh cinta dan dedikasi kepada tanah air, Fatmawati menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih, yang kemudian dikibarkan pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta momen sakral ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya kepada dunia. Setiap jahitan yang ia buat bukan sekadar menyatukan kain merah dan putih, tetapi juga menyulam harapan dan semangat seluruh rakyat Indonesia.
Fatmawati berasal dari keluarga Minangkabau yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan kehormatan. Ketegarannya sebagai perempuan, istri, dan ibu bangsa menjadikannya teladan abadi bagi generasi penerus. Ia mendampingi Soekarno dari masa-masa penuh perjuangan hingga tahun 1967, dengan keteguhan hati dan kasih yang tak pernah padam.
Dari rahimnya lahirlah pemimpin besar lainnya, Megawati Soekarnoputri, yang kelak menjadi Presiden kelima Republik Indonesia melanjutkan warisan juang dan kebangsaan dari kedua orang tuanya. Fatmawati meninggal dunia pada 14 Mei 1980 di usia 57 tahun, namun semangatnya tetap hidup dalam setiap kibaran Merah Putih di langit Nusantara.
Fatmawati bukan sekadar istri presiden; ia adalah penjahit sejarah, penyulam kemerdekaan, dan Ibu Bangsa yang mengajarkan makna sejati dari cinta kepada negeri.
#SangPenjahitKemerdekaan
#FatmawatiSoekarno
#IbuBangsaIndonesia
#MerahPutihAbadi
#CintaTanahAir
#LegendaPerempuanIndonesia
#JejakPahlawanBangsa
Sumber :
- merdeka.com
- https://www.facebook.com/1763853544/posts/pfbid0adcADLswECzUYtRtFC4PdQHmWHkTVyqhoggBWtrsBWPdP3vCpjLMM3BxCvDoeWgDl/?app=fbl






