MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO
Secara harfiah, peribahasa mikul dhuwur mendhem jero berarti memikul tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam. Secara filosofi, peribahasa ini dimaknai mengangkat kebaikan orang tinggi-tinggi dan menyembunyikan kesalahan/keburukan orang.
Mikul artinya memikul yaitu membawa di atas bahu. Dhuwur artinya tinggi. Mendhem artinya menanam, jero artinya dalam. Dengan demikian mikul dhuwur mendhem jero arti mudahnya adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan ada yang harus ditanam dalam-dalam.
Pepatah bijak Jawa kuna yang satu ini adalah anjuran bagi seorang anak (atau dalam situasi tertentu adalah seorang murid) untuk dapat menjunjung kehormatan dan memuliakan orang tuanya (atau juga diartikan sebagai guru), setinggi-tingginya serta sebisa mungkin untuk memaafkan dan memendam dalam-dalam segala aib dan kesalahan kedua orang tuanya.
Mikul dhuwur mendhem jero artinya adalah memikul tinggi-tinggi, memendam dalam-dalam. Penulis ingat waktu masih kecil, orang tua selalu mengingatkan untuk selalu menghormati orang tua, saudara yang lebih tua juga kepada orang lain yang lebih tua dan yang juga harus dihormati adalah guru.Waktu itu penulis mempunyai keyakinan bahwa pegangan hidup seperti itu adalah benar dan tepat sekali.
Orang tua waktu itu selalu mendidik anak-anaknya dengan menggunakan istilah Jawa karena lebih mudah untuk dimengerti. Terutama ibu yang hanya orang kecil yang tidak mendapat pendidikan formal, mempunyai kudangan terhadap anaknya, mempunyai cita-cita mengenai anaknya yakni agar menjadi anak yang bisa mikul dhuwur mendhem jero pada orang tua. Lebih jelasnya lagi, diartikan bahwa mikul dhuwur adalah harus menghormati orang tua dan menjunjung tinggi nama baik orang tua.
Sedangkan mendhem jero artinya segala kekurangan orang tua tidak perlu ditonjol-tonjolkan. Apalagi ditiru. Kekurangan itu harus dikubur dalam-dalam, supaya tidak kelihatan.Tetapi orang tua harus dijunjung setinggi-tingginya sehingga terpandang keharumannya.
Dipandang dari segi agama maupun kebatinan, pegangan mikul dhuwur mendhem jero itu merupakan realisasi daripada iman, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ujud daripada iman di sini adalah mengakui kenyataan bahwa orang tua merupakan perantara daripada lahirnya manusia. Tuhan menciptakan manusia melalui orang tua, yaitu ayah dan ibu. Oleh karena itu, orang yang beriman, yang percaya pada Tuhan, wajib menghormati orang tua.Perlu diketahui bahwa orant tualah yang menjadi perantara kita sampai lahir di dunia ini dan mengasuh kita sampai betul-betul bisa hidup sendiri sebagai orang dewasa.
Sikap terhadap guru, juga sama yaitu harus dihormati. Karena guru menjadi perantara sehingga mengetahui sesuatu dari tidak bisa membaca sampai bisa membaca, dari tidak bisa menghitung sampai bisa menghitung, begitu juga dengan halnya sampai bisa menulis. Dengan begitu, wujud taqwa kepada Tuhan berdasarkan iman antara lain dengan menghormati orang tua dan tentu saja guru kita.
Makna mikul dhuwur mendhem jero bagi pendidikan karakter harus dijunjung tinggi seperti budi pekerti dan berbudi luhur maka harus terus dilestarikan. Mudah-mudahan nilai luhur budi pekerti, unggah-ungguh / tata krama terhadap orang tua tidak hilang. Karena kalau hilang atau luntur moral baik akan makin menipis, seperti menggunakan kata-kata yang buruk, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya tanggung jawab individu, membudayanya ketidakjujuran dan adanya saling curiga dan kebencian antara sesama.
Perlu diketahui bahwa untuk mencegah menipisnya moral yang bertambah parah, maka pendidikan karakter harus lebih ditingkatkan baik di lingkungan formal, informal maupun nonformal. Untuk mendidik karakter anak bangsa yang sudah mulai hilang rasa hormatnya pada orang tua dan guru yaitu mikul dhuwur mendhem jero merupakan peribahasa yang tepat.
Tidak hanya orang tua dalam arti sempit namun juga dalam arti luas, yaitu orang yang lebih tua, pemimpin, tokoh masyarakat dan sebagainya.Jika kalimat ini sudah diterapkan kepada jiwa anak maka akan memupuk moral dan karakter untuk semakin baik. Setidaknya batasan moral antara anak dan orang tua, norma etika unggah-ungguh tidak akan lenyap, terhapus oleh arus globalisasi.
Apabila seseorang sudah meninggal dunia maka kenanglah dengan hal-hal yang baik tentangnya dan janganlah diobral keburukannya selama hidup di dunia. Sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana tersurat dalam salah satu hadits Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa Sallam yang mengatakan “Ingatlah kebaikan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan tahanlah dari menjelek-jelekkannya.” (Imam Bukhari, Imam Thirmidzi dan Imam Abu Dawud). Dalam kesempatan lain, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga mengingatkan, “janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah meninggal dunia, karena sesungguhnya mereka telah sampai kepada hasil amalan yang mereka lakukan tatkala di dunia.” (HR. Imam Bukhari).
Itulah etika yang sangat dianjurkan dalam tata pergaulan antar manusia.Jika seseorang melanggar falsafah adiluhung tersebut, menunjukkan kualitas moral seseorang yang begitu rendah. Peringatan bagi kita yang masih hidup, bahwa hadits di atas memberi pelajaran masih ada kemungkinan untuk memperbaiki diri. Dalam konotasi positif mendhem jero diartikan sebagai usaha untuk menjaga nama baik keluarga, orang tua, masyarakat atau jenis kelompok manusia lainnya.
Sedangkan makna konotasi negatif bisa dimaknai menutupi kekurangan yang seharusnya diketahui orang (transparan). Prinsipnya bahwa mendhem jero mengajarkan kita untuk menutupi aib yang dimiliki, di mana aib tersebut memang tidak perlu diketahui oleh orang lain.
Akhirnya timbul pertanyaan, dalam keadaan bagaimana ajaran mikul dhuwur mendhem jero ini perlu diterapkan ? Peribahasa ini adalah nasehat agar siapapun mau menghargai dan menghormati orang tua yang telah mendidik dan membesarkan jiwa dan raga kita. Adapun penghormatan tersebut tidak hanya diberikan ketika mereka masih hidup, tetapi juga setelah mereka sudah tiada.
Gambarannya mikul dhuwur seperti ketika memikul jenazah, bukan digotong seperti mengangkat orang dari tidurnya. Maknanya seluruh jasa orang tua harus ditunjukkan, sungguh-sungguh dihargai. Nasehat mereka ditepati, pemberian mereka dijaga baik-baik. Tidak ada orang tua yang memberi sesuatu dengan tidak ikhlas. Oleh karena itu si anak harus juga memuliakan warisan dari orang tua sebaik mungkin.
Sedangkan yang dimaksud dengan mendhem jero (mengubur dalam-dalam) dapat dilihat dari cara orang mengubur jenazah. Paling tidak kedalaman lubang kubur adalah setinggi tubuh posisi berdiri. Tidak boleh mengubur jenazah hanya selutut, tidak layak jika dikubur asal-asalan. Karena nantinya akan busuk dan berbau. Jadi jika dikubur di lubang yang dangkal, bisa saja bau busuk bertebaran kemana-mana. Artinya, orang tua juga hanya makhluk alias ciptaan Allah, orang tua juga memiliki dosa dan salah ketika hidup di dunia. Dengan pernyataan seperti itu, seyogyanya anak “mengubur” aib orang tuanya. Bukannya malah membeberkannya ke mana-mana.
Kesimpulan dari pernyataan di atas adalah bahwa kita sebagai manusia haruslah bisa menjaga nama baik orang tua artinya menghormati orang tua apabila masih hidup dan menjaga nama baik orang tua yang sudah tiada untuk tidak menceritakan kejelekannya.
Menghormati di sini bukan hanya dengan orang tua saja, melainkan dengan saudara yang lebih tua, juga tidak ketinggalan dengan guru. Lebih jelasnya adalah hormati orang tua dan guru.
(Sumber : Sri Suprapti, Guru Bahasa Jawa di Surakarta).