Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior
Lex superior, lex specialis, dan lex posterior adalah tiga asas hukum yang digunakan untuk menyelesaikan konflik antar peraturan perundang-undangan.
Berikut penjelasan masing-masing asas :
Lex superior derogat legi inferiori.
Asas ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat meniadakan peraturan yang lebih rendah. Asas ini hanya berlaku jika kedua peraturan tersebut tidak sederajat dan saling bertentangan.
Lex specialis derogat legi generali.
Asas ini berarti bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis).
Lex posterior derogat legi priori.
Asas ini berarti bahwa hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior). Asas ini biasanya digunakan dalam hukum nasional maupun internasional.
Kata lex berasal dari bahasa Latin yang berarti undang-undang atau aturan hukum.
Pada dasarnya, terdapat tiga asas hukum yang digunakan untuk menyelesaikan pertentangan atau konflik antar peraturan perundang-undangan, yakni :
- Asas lex superior derogat legi inferiori;
- Asas lex specialis derogat legi generali;
- Asas lex posterior derogat legi priori.
Lex superior, lex specialis, dan lex posterior
Berikut akan dijelaskan satu per satu makna ketiga asas tersebut sebagai berikut :
Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori.
Asas ini menyatakan bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian, peraturan yang lebih tinggi akan mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Asas ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki tidak sederajat dan saling bertentangan.
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011, hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Berdasarkan hierarki yang telah disebutkan di atas, maka materi muatan UU tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Begitu juga materi muatan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah UU tidak boleh bertentangan dengan UU dan UUD 1945.
Misalnya, keberlakuan Peraturan Daerah (“Perda”) yang tidak boleh dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Ini dibuktikan dengan tindakan Kementerian Dalam Negeri telah mengunggah 3.143 Perda yang dibatalkan pemerintah pusat yang dianggap bermasalah serta tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di atasnya pada tahun 2016.
Namun, patut dicatat, kewenangan pembatalan Perda oleh pemerintah pusat ini telah dicabut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016, sebagaimana dikutip dari Lembaga Negara yang Punya Kekuasaan Yudikatif Menguji Perda.
Sehingga, kini lembaga negara yang mempunyai kekuasaan yudikatif menguji Perda adalah Mahkamah Agung, maka yang membatalkan Perda jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya adalah Mahkamah Agung.
Contoh asas lex superior derogat legi inferiori adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 P/HUM/2019 yang menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Bupati Kepulauan Aru Nomor 53 Tahun 2018 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 5 huruf c, Pasal 6 ayat (1) huruf i UU 12/2011 (hal. 43).
Oleh karena itu, amar putusan kemudian menyatakan pasal yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 43).
Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali.
Asas ini menyatakan bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum. Asas lex specialis derogat legi generali hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama.
Contoh asas lex specialis derogat lex generalis adalah misalnya mengenai pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak pelaku tindak pidana.
Lex generalis dalam Pasal 10 KUHP disebutkan :
1. Pidana terdiri atas:
2. pidana pokok
3. pidana mati;
4. pidana penjara;
5. pidana kurungan;
6. pidana denda;
7. pidana tutupan.
8. pidana tambahan
9. pencabutan hak-hak tertentu;
10. perampasan barang-barang tertentu;
11. pengumuman putusan hakim.
Sedangkan lex specialis dalam Pasal 71 ayat (1) dan (2) UU SPPA menyebutkan :
1. Pidana pokok bagi Anak terdiri atas:
2. pidana peringatan;
3. pidana dengan syarat:
4. pembinaan di luar lembaga;
5. pelayanan masyarakat; atau
6. pengawasan.
7. pelatihan kerja;
8. pembinaan dalam lembaga; dan
9. penjara.
Pidana tambahan terdiri atas :
1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
2. pemenuhan kewajiban adat.
Sehingga, dapat dipahami bahwa contoh asas lex specialis derogat lex generalis adalah ketentuan UU SPPA tentang pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak pelaku tindak pidana adalah lex specialis dari ketentuan pidana pokok dan pidana tambahan dalam KUHP.
Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori.
Sederhananya, asas ini berarti peraturan yang baru mengesampingkan peraturan lama. Asas ini bertujuan untuk mencegah ketidakpastian hukum yang mungkin timbul manakala terdapat dua peraturan yang sederajat berdasarkan hierarki.
Contoh asas lex posterior derogat legi priori adalah UU 11/2012 yang mencabut keberlakuan UU 3/1997. Sehingga, sejak berlakunya UU 11/2012, semua tindak pidana yang dilakukan anak akan dijerat dan diproses dengan menggunakan ketentuan UU 11/2012 dan bukan UU 3/1997.
Dasar Hukum :
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
POINT Consultant