DELIK OBSTRUCTION OF JUSTICE
Delik adalah perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana. Istilah ini berasal dari bahasa Latin "delictum" dan sering disebut juga sebagai tindak pidana atau peristiwa pidana. Dalam bahasa Indonesia, delik dapat diartikan sebagai perbuatan yang dapat dihukum karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.
Delik adalah perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana. Istilah ini berasal dari bahasa Latin "delictum" dan sering disebut juga sebagai tindak pidana atau peristiwa pidana. Dalam bahasa Indonesia, delik dapat diartikan sebagai perbuatan yang dapat dihukum karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.
Penegakan hukum merupakan suatu proses atau upaya tegak dan berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Zurnetti, 2020).
Peran aparat penegak hukum sangat penting dalam praktik penegakan hukum. Aparat penegak hukum tidak hanya bertugas untuk menegakkan hukum, tetapi juga untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan adil dan transparan, namun ironisnya aparat penegak hukum yang seyogianya menjadi ujung tombak dalam memastikan setiap proses hukum berjalan dengan prinsip kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, justru mencederai penegakan hukum dengan menghalangi, merintangi, menghambat, dan mencegah proses penegakan hukum, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan atau dikenal dengan istilah Obstruction of Justice.
Menurut Adji (2007), Obstruction of Justice diartikan sebagai segala tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menghalangi, menghambat, atau mengganggu proses peradilan (penyidikan, penuntutan, dan persidangan) yang sedang berlangsung, baik dengan cara memberikan kesaksian palsu, menghancurkan atau menyembunyikan bukti, mempengaruhi saksi atau hakim, atau melakukan tindakan lainnya yang bertujuan menghalangi kebenaran dalam proses peradilan.
Obstruction of Justice sebagai salah satu bentuk tindak pidana sesungguhnya bukanlah merupakan istilah baru. Istilah Obstruction of Justice merupakan terminologi hukum yang berasal dari literatur Anglo Saxon. Di Indonesia, tindakan Obstruction of Justice telah diatur dalam Pasal 221 UU Nomor 1 Tahun 1946 (KUHP lama) jo. Pasal 282 UU Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP baru). Pengaturan Obstruction of Justice juga diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana Khusus yaitu Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 22 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) jo. Pasal 19 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Obstruction of Justice dianggap sebagai bentuk kejahatan karena menghambat penegakan hukum. Tindakan ini biasanya dilakukan saat proses peradilan yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan persidangan. Oleh karena itu, Obstruction of Justice dikategorikan sebagai salah satu jenis perbuatan pidana Contempt of Court atau penghinaan terhadap pengadilan.
Tindakan-tindakan yang dapat digolongkan sebagai Obstruction of Justice, merujuk pada kriteria yang berlaku di negara Amerika Serikat. Dalam buku "Obstruction of Justice" karya Eingland, dijelaskan beberapa kriteria tindakan yang dapat dianggap sebagai Obstruction of Justice, sebagai berikut :
1. Aiding a suspect, yaitu membantu tersangka dengan memberikan informasi terkait proses penyidikan yang sedang dilakukan. Pembocoran informasi ini dapat menghalangi proses peradilan karena berkat informasi tersebut tersangka dapat menghilangkan atau merusak barang bukti bentuk tindakan lain. Tergolong ke dalam aiding suspect yaitu menyembunyikan tersangka.
2. Lying, yaitu tindakan dari saksi atau tersangka yang berbohong atau memberikan informasi palsu kepada penyidik (penegak hukum) pada saat dilakukannya pemeriksaan saksi atau tersangka baik secara tertulis maupun secara lisan.
3. Famous Obstructions, yaitu bersekongkol atau bersama sama membantu pelaku tindak pidana untuk dapat mengelabui aparat penegak hukum seperti mengambil barang bukti dan menghilangkan barang bukti.
4. Tampering With Evidence, yaitu perbuatan merusak barang bukti atau alat bukti. Menyuap saksi untuk dapat merekayasa suatu peristiwa pidana juga termasuk ke dalam jenis ini.
Obstruction of Justice merupakan perbuatan terlarang yang dapat dikenakan sanksi pidana dan denda, sebagai berikut :
1. Pasal 221 ayat (1) KUHP lama menentukan barang siapa dengan sengaja menyembunyikan pelaku kejahatan, atau memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, diancam dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta (Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dikali 1000).
2. Pasal 282 KUHP baru menentukan setiap orang yang menyembunyikan atau memberikan pertolongan kepada pelaku tindak pidana untuk melarikan diri dari penyidikan, penuntutan, atau pelaksanaan putusan pidana oleh pejabat yang berwenang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak paling banyak Rp25 juta.
3. Pasal 21 UU Tipikor menentukan setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua) belas tahun dan atau denda paling sedikit Rp150 juta dan paling banyak Rp600 juta.
4. Pasal 22 UU TPPO menentukan setiap orang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40 juta dan paling banyak Rp200 juta.
5. Pasal 19 UU TPKS menentukan setiap orang dengan sengaja yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan/ atau pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau Saksi dalam perkara tindak pidana kekerasan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pelaku Obstruction of Justice dapat berasal dari aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan advokat), kalangan pemerintah, maupun masyarakat sipil. Polisi, jaksa, dan hakim memiliki kesempatan yang sangat besar untuk melakukan Obstruction of Justice dengan jabatan dan pekerjaan yang diembannya sebagai penegak hukum. Penulis berharap pemberatan pidana pada setiap putusan kasus Obstruction of Justice yang dilakukan oleh para penegak hukum, agar menjadi sarana untuk meminimalisir tindakan Obstruction of Justice dan memperbaiki kinerja aparat penegak hukum di masa yang akan datang.
Adapun 3 (tiga) unsur utama yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dijerat dengan tindak pidana Obstruction of Justice, yaitu :
1. Perbuatan tersebut menyebabkan tertundanya atau terganggunya suatu proses hukum yang sedang berlangsung (pending judicial proceedings).
2. Pelaku mengetahui dan menyadari bahwa tindakan yang dilakukan memiliki dampak terhadap jalannya suatu proses hukum (knowledge of pending proceedings).
3. Pelaku melakukan atau mencoba tindakan menyimpang dengan tujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).
Dalam praktik hukum di Amerika Serikat, ditambahkan satu unsur tambahan, yaitu motif. Seseorang dapat dijatuhi hukuman atas Obstruction of Justice harus dibuktikan bahwa pelaku memiliki niat tertentu, seperti ingin menghindari tuntutan pidana atau mengurangi ancaman hukuman yang dihadapi, dan motif lainnya (Fasya, 2025).
Obstruction of Justice dapat berwujud dalam berbagai modus operandi, sebagai berikut :
1. Pejabat pemerintah yang menghalangi atau mempengaruhi proses peradilan untuk kepentingan pribadi atau politik.
Contoh :
- Kasus Bank Century yang melibatkan sejumlah pihak dari pejabat pemerintah dalam dugaan menghalangi penyidikan dan pengadilan.
- Kasus Munir yang melibatkan pihak terkait termasuk dari kalangan pejabat BIN dalam dugaan menghalangi proses peradilan dan menutupi kebenaran.
2. Polisi yang menutup-nutupi bukti atau memberikan kesaksian palsu untuk melindungi diri sendiri atau orang lain. Penyelidik dan penyidik sangat rentan melakukan tindakan Obstruction of Justice karena penyelidik dan penyidik sebagai garda terdepan dalam mengungkap peristiwa hukum yang sedang terjadi.
Berikut ini contoh aparat penegak hukum yang terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah turut serta melakukan perintangan proses penyidikan terkait pengusutan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat :
- Mantan Karo Paminal Divisi Propam Polri H. K. bertindak sebagai pihak yang memberikan perintah kepada anak buahnya dalam penggantian kamera pengintai Digital Video Recorde Close Circuit Television (DVR CCTV) yang merekam seluruh kejadian di lingkungan sekitar rumah dinas F. S. di kompleks Polsek Duren Tiga, Jakarta Selatan.
- Mantan Pamen Divpropam Mabes Polri A. N. mengarahkan lokasi-lokasi CCTV yang harus diamankan sesuai dengan perintah F. S., serta memerintahkan Irfan Kurniawan untuk mengganti DVR CCTV di rumah Ridwan Rhekynellson Soplangit.
- Mantan Komisaris Polisi B. W. mengambil CCTV dan menghilangkan CCTV di pos satuan pengamanan di rumah dinas F. S.
- AKBP C. P. menguasai DVR CCTV tanpa dilengkapi surat tugas maupun berita acara penyitaan.
- Peraih Adhi Makayasa I. W. melakukan pergantian DVR CCTV di tempat kejadian perkara (TKP).
- Mantan Wakaden B Biropaminal Divpropam Polri A. R. A. tindakan campur tangan dalam proses penyelidikan di Polres Metro Jakarta Selatan dengan memerintahkan agar BAP hanya mengganti judul dari hasil pemeriksaan di Biro Paminal.
3. Jaksa yang melakukan tindakan yang melanggar etika atau menghalangi proses pengadilan.
4. Advokat yang mempengaruhi kesaksian saksi, menghancurkan bukti, atau melakukan kecurangan dalam proses peradilan.
Salah satu keistimewaan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 kepada Advokat dalam menjalankan profesinya adalah hak imunitas sebagaimana diatur dalam Pasal 16. Hak imunitas advokat adalah hak yang melekat pada profesi advokat untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan. Keberlakuan Pasal 16 Undang-Undang Advokat diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013, namun tidak serta merta membebaskan advokat dari dugaan perintangan penyidikan. Advokat dapat kehilangan hak imunitasnya dan diduga melakukan Obstruction of Justice jika perbuatan tersebut dilakukan tidak didasari itikad baik dan tidak berkaitan dengan tugas profesinya.
Contoh :
- F. Y. advokat pertama yang divonis terbukti memenuhi unsur mencegah, merintangi proses penyidikan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan proyek e-KTP dengan tersangka atau terdakwa mantan Ketua DPR S. N.
- S. R. R. telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana merintangi penyidikan perkara suap dan gratifikasi proyek infrastruktur di Papua yang menjerat kliennya, mantan Gubernur Papua L. E.
- Individu atau masyarakat sipil yang menggunakan kekerasan, ancaman, atau intimidasi untuk mencegah saksi memberikan kesaksian yang sebenarnya.
Contoh :
- T. T. terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah mengganggu jalannya penyidikan kasus dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah di wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk. tahun 2015-2022, yang melibatkan kakaknya, T. T.
Hasil penelitian Suprayoga (2024) menunjukkan bahwa tindakan Obstruction of Justice memiliki dampak serius terhadap proses penyidikan dalam sistem peradilan; membahayakan kebenaran dalam proses peradilan; menciptakan ketidakpercayaan terhadap sistem peradilan; merusak citra lembaga penegak hukum; dan menghambat penegakan hukum. Mitigasi risiko untuk mengurangi dampak tersebut mencakup peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang masalah Obstruction of Justice; penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku, serta peningkatan kerjasama dan koordinasi antara lembaga dan pihak terkait (aparat penegak hukum, lembaga peradilan, dan masyarakat) dalam penanganan kasus Obstruction of Justice.
Menurut pandangan penulis, untuk menghindari terjadinya Obstruction of Justice, terdapat 4 kaidah yang harus dipenuhi, yakni independensi, netralitas, objektivitas, dan imparsialitas. Independensi dengan bersikap bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, atau tidak bergantung pada orang lain. Netralitas dengan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan tertentu. Objektivitas dengan bersikap jujur dan tidak dipengaruhi oleh pendapat pribadi dalam mengambil keputusan atau tindakan. Imparsialitas dengan bersikap tidak memihak, netral, serta sikap tanpa bias dan prasangka dalam memeriksa, mengadili, dan menilai suatu hal.
Penting bagi sistem peradilan di Indonesia untuk mendeteksi dan menghukum pelaku Obstruction of Justice agar keadilan dapat ditegakkan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum tetap terjaga. Tidak ada tempat di Kementerian Keuangan bagi pelaku tindak pidana yang merusak integritas sistem hukum dan menghambat penegakan keadilan. Jika ada yang menunjukkan tanda-tanda Obstruction of Justice, jangan segan-segan bertindak, segera whistleblowing kan! Jangan dibiarkan, walaupun itu rekan kita sendiri. Tindakan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan yang melakukan Obstruction of Justice akan merusak citra Kementerian Keuangan dan membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah semakin merosot. Pejabat dan pegawai Kementerian Keuangan yang menjalankan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, wajib menjunjung tinggi integritas, yakni berpikir, berkata, berperilaku, dan bertindak dengan baik dan benar sesuai Kode Etik dan Kode Perilaku PNS di lingkungan Kementerian Keuangan, serta menjaga citra, harkat, dan martabat Kementerian Keuangan.
Daftar Pustaka :
- Buku - Adji. (2007). Peradilan Bebas & Contempt of Court. Jakarta: Diadit Media.
- Zurnetti. (2020). Kedudukan Hukum Pidana Adat dalam Penegakan Hukum dan Relevansinya dengan Pembaruan Hukum Pidana Nasional. Depok: RajaGrafindo Persada.
Jurnal :
Suprayoga. (2024). Analisis Dampak Obstruction of Justice Terhadap Proses Peradilan. Jurnal Recidive. 13 (2). 119-238. DOI 10.20956recidive.v7i2.xxxx
Website :
Fasya. (2025, Februari 21). Kasus Obstruction of Justice (OOJ) Mencuat, Begini Penjelasan Mustain Nasoha Dosen Ilmu Hukum UIN Surakarta. https://syariah.uinsaid.ac.id/kasus-obstruction-of-justice-ooj-mencuat-begini-penjelasan-mustain-nasoha-dosen-ilmu-hukum-uin-surakarta/
Sumberdaya tulisan artikel :
Arfin (Widyaiswara Ahli madya BDK Pontianak)
Reposting by POINT Consultant

