PEMBIARAN INTOLERANSI
BACA DISINI :
Pembiaran intoleransi adalah sikap diam atau kurangnya tindakan tegas dalam menghadapi tindakan yang tidak menghargai perbedaan, baik dalam hal agama, budaya, etnis, maupun pandangan hidup. Pembiaran ini dapat berupa tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku intoleransi, kurangnya pendidikan tentang toleransi, atau minimnya upaya membangun kesadaran akan pentingnya menghargai perbedaan.
Berikut konteks pembiaran intoleransi :
1. Definisi Intoleransi.
Intoleransi adalah sikap atau perilaku yang tidak menghargai perbedaan, termasuk keyakinan, budaya, dan pandangan hidup orang lain.
2. Bentuk Pembiaran.
Pembiaran intoleransi dapat berupa :
- Tidak adanya tindakan hukum.
Tidak adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku intoleransi.
- Kurangnya pendidikan.
Kurangnya pendidikan tentang toleransi dan pentingnya menghargai perbedaan di berbagai tingkatan.
- Minimnya upaya membangun kesadaran.
Kurangnya upaya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya hidup berdampingan dalam perbedaan.
Dampak Pembiaran :
Pembiaran intoleransi dapat menyebabkan :
- Konflik sosial.
Munculnya konflik antar kelompok masyarakat akibat ketidakmampuan untuk menghargai perbedaan.
- Diskriminasi.
Terjadinya diskriminasi terhadap kelompok minoritas atau kelompok yang dianggap berbeda.
- Pelanggaran hak asasi manusia.
Pelanggaran hak asasi manusia, seperti kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Contoh Kasus :
Kasus intoleransi di Cidahu, Sukabumi, dimana sekelompok massa memaksa menghentikan dan merusak tempat retreat anak-anak remaja, merupakan contoh pembiaran intoleransi. Dalam kasus ini, aparat penegak hukum seharusnya bertindak tegas untuk melindungi hak-hak warga negara, namun malah terjadi pembiaran.
Pentingnya Penanganan :
- Penanganan intoleransi membutuhkan tindakan tegas dari pemerintah dan masyarakat. Hal ini mencakup penegakan hukum, pendidikan multikulturalisme, dialog antaragama, serta promosi keberagaman.
Dengan kata lain, pembiaran intoleransi adalah kondisi yang berbahaya dan dapat merusak keharmonisan sosial. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk berperan aktif dalam mencegah dan mengatasi intoleransi.
Saat ini, pembiaran intoleransi masih menjadi perhatian serius di Indonesia. Meskipun ada upaya untuk meningkatkan toleransi, kasus intoleransi masih terjadi dan bahkan beberapa pihak menilai ada kecenderungan peningkatan. Pembiaran ini terlihat dari belum adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku intoleransi, serta minimnya regulasi yang efektif untuk melindungi hak-hak minoritas dan kelompok rentan.
Pembiaran Intoleransi :
1. Data dan Fakta.
Terdapat sejumlah kasus intoleransi yang dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir, dengan beberapa pihak mencatat adanya peningkatan pada tahun 2023.
2. Penyebab.
Intoleransi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya pemahaman tentang perbedaan, prasangka buruk terhadap kelompok lain, serta penyebaran paham keagamaan yang eksklusif.
3. Dampak.
Intoleransi dapat memicu konflik sosial, diskriminasi, dan bahkan kekerasan.
4. Peran Pemerintah.
Pemerintah memiliki peran penting dalam mencegah dan mengatasi intoleransi, termasuk melalui penegakan hukum yang tegas, pendidikan multikultural, serta perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
5. Peran Masyarakat.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam membangun budaya toleransi, dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya perbedaan dan menghargai hak-hak orang lain.
6. Tantangan.
Salah satu tantangan utama adalah adanya peraturan yang diskriminatif atau tidak melindungi hak-hak minoritas, serta kurangnya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam menangani masalah intoleransi.
Beberapa upaya yang bisa dilakukan :
1. Penegakan Hukum.
Menegakkan hukum secara tegas terhadap pelaku intoleransi dan kejahatan berbasis agama atau keyakinan.
2. Pendidikan.
Memperkuat pendidikan multikulturalisme dan nilai-nilai toleransi sejak dini.
3. Penguatan Kelembagaan.
Membentuk lembaga khusus yang menangani masalah intoleransi dan memastikan koordinasi antar lembaga pemerintah.
4. Perlindungan HAM.
Memastikan perlindungan terhadap hak-hak minoritas dan kelompok rentan, serta menghapus regulasi yang diskriminatif.
5. Dialog.
Mendorong dialog antaragama dan antarbudaya untuk meningkatkan pemahaman dan mengurangi prasangka.
Dengan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat, dan semua pihak terkait, diharapkan pembiaran intoleransi dapat diatasi dan tercipta lingkungan yang lebih inklusif dan harmonis.
Intoleransi Beragama.
Intoleransi beragama adalah sikap atau perilaku yang tidak mau menerima dan menghargai perbedaan keyakinan dan praktik agama lain. Kasus-kasus intoleransi ini sering terjadi di Indonesia, dengan berbagai bentuk seperti penolakan pendirian rumah ibadah, pembubaran kegiatan keagamaan, dan tindakan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Jawa Barat, misalnya, menjadi salah satu provinsi dengan catatan kasus intoleransi yang tinggi.
Definisi dan Bentuk Intoleransi :
1. Definisi.
Intoleransi beragama adalah sikap atau perilaku yang tidak mau menerima dan menghargai perbedaan keyakinan dan praktik agama lain.
2. Bentuk-bentuk intoleransi.
Penolakan pendirian tempat ibadah.
3. Pembubaran kegiatan ibadah.
4. Intimidasi dan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas.
5. Perusakan fasilitas ibadah.
6. Diskriminasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Kasus-kasus Intoleransi di Indonesia :
- Tahun 2024.
Berdasarkan data Setara Institute, terjadi 260 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dengan 402 tindakan di Jawa Barat.
- Kasus di Sukabumi (Juni 2025).
Pembubaran paksa, intimidasi, dan perusakan fasilitas ibadah dalam kegiatan retret pelajar Kristen.
- Kasus di Gresik (April 2024).
Penolakan pembangunan gereja Katolik di bekas bangunan gudang.
- Kasus di Bandung (Maret 2025).
Protes massa terhadap penggunaan Gedung Serba Guna (GSG) Arcamanik oleh umat Paroki Odilia Bandung.
Penyebab Intoleransi :
- Fanatisme agama yang berlebihan: Pemahaman agama yang sempit dan tekstual, serta anggapan bahwa hanya satu agama yang benar.
- Ketakutan akan perbedaan: Kekhawatiran akan perubahan sosial dan hilangnya identitas kelompok.
- Perebutan sumber daya: Persaingan dalam mendapatkan pekerjaan, pendidikan, dan akses terhadap sumber daya lainnya.
- Penggunaan isu agama untuk kepentingan politik: Memanfaatkan sentimen agama untuk tujuan tertentu.
Upaya Penanganan :
1. Peningkatan pemahaman agama. Membangun paradigma bertoleransi sejak usia dini dan mempromosikan pemahaman agama yang inklusif.
2. Penegakan hukum.
Menindak tegas pelaku intoleransi dan memastikan perlindungan terhadap kelompok minoritas.
3. Penguatan peran tokoh agama.
Melibatkan tokoh agama dalam membangun kerukunan dan dialog antar umat beragama.
4. Peningkatan kesadaran masyarakat.
Mengkampanyekan pentingnya toleransi dan saling menghormati perbedaan.
Kebebasan Beragama.
Kebebasan beragama dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pada Pasal 28E ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2). Pasal-pasal ini menjamin hak setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan kepercayaannya, serta menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
Berikut adalah relevansinya :
- Pasal 28E ayat (1) dan (2) :
Pasal ini menjamin kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, serta kebebasan untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
- Pasal 29 ayat (2) :
Pasal ini menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
- UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia :
Pasal 22 UU ini juga mengatur tentang kebebasan beragama, menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan demikian, konstitusi Indonesia menjamin hak setiap warga negara untuk beragama dan menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Makna Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama
Pasal 29 UUD 1945 mengatur kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut ajaran agamanya. Berikut uraian maknanya.
Ketentuan Pasal 29 UUD 1945 membahas soal agama yang dijabarkan lebih rinci dalam dua ayat. Bunyi Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 adalah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian, bunyi Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 adalah negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Perlu digarisbawahi bahwa hak memeluk agama ini telah diatur dalam dasar negara, Pancasila, tepatnya sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian dirincikan pula dalam Pasal 28E UUD 1945 dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Bunyi Pasal 28E UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1). Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2). Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3.) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
Bunyi Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 adalah sebagai berikut: "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".
Makna Pasal 29 UUD 1945
Secara sederhana, singkatnya makna Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945 adalah negara menjamin hak kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh warga negara.
Lebih lanjut terkait makna Pasal 29 UUD 1945, Yusril Ihza (dalam Fatmawati, 2011: 500). Menerangkan bahwa ketentuan Pasal 29 UUD 1945 memberikan kebebasan untuk memeluk agama, bukan kebebasan untuk tidak memeluk agama. Terkait kebebasan memeluk agama ini perlu dilihat dari sudut teologi keagamaan, yang seharusnya bersifat transenden, yakni memberikan kebebasan manusia untuk memeluk agama secara bebas dan tanpa paksaan.
Kemudian, dielaborasikan Ismail Suny (dalam Fatmawati, 2011: 500), hubungan Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 adalah agama dan kepercayaan yang diberikan hak hidup di negara Republik Indonesia adalah agama dan kepercayaan yang tidak bertentangan atau membahayakan sila pertama Pancasila. Pasalnya, paham tidak bertuhan bertujuan untuk menghapuskan kepercayaan terhadap Tuhan.
Artikel by POINT Consultant

