PEMBIARAN
Pemerintahan ini tidak banyak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, di mana tujuan mencapai pemerintahan yang bersih diabaikan, kebijakan anti korupsi dikorupsi, hukum sebagai panglima, kemampuan membuat kebijakan disalahgunakan, dan lembaga pendukung praktik demokrasi dilemahkan. Mudah-mudahan kedepan pemerintah saat ini bukan hanya memberi janji tapi kenyataan dan perhatian penuh kasus-kasus pembiaran. Dan rakyat berharap hukum sebagai panglima dalam menegakkan keadilan di Indonesia. Bravo Indonesia menuju Indonesia Emas.
Pembiaran Menurut Pakar.
1. Filsuf politik berpengaruh asal Jerman, Hannah Arendt, mengutarakan konsep pembiaran melalui analisis kasus penjahat perang Nazi, Adolf Eichmann. Dia digambarkan sebagai seorang perwira militer yang sangat patuh kepada atasan dan negara.
2. Menurut Arendt, Eichmann tidak menyadari bahwa tindakannya berdampak buruk. Padahal, ia telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kaum Yahudi, kejahatan melawan kemanusiaan, dan kejahatan perang selama masa pemerintahan Nazi, terutama selama Perang Dunia II.
Kejahatan yang banal (kasar/tidak elok), dalam konteks ini dapat dipahami sebagai budaya pembiaran. Budaya ini dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akal sehat untuk memahami perintah, hukum, atau kewajiban yang ada.
Budaya pembiaran ini juga dapat “menjerat” individu untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya berdampak buruk, tapi mereka anggap wajar. Contohnya adalah para influencer yang kerap mencari keuntungan materi dengan menjadikan anaknya sebagai kidfluencer.
Pengertian Pembiaran.
Pembiaran dalam bahasa Indonesia berarti membiarkan sesuatu terjadi tanpa melakukan tindakan apapun untuk mencegah atau menghentikannya, meskipun memiliki kemampuan atau kewajiban untuk itu. Dalam konteks hukum, pembiaran bisa berarti tindakan tidak peduli atau tidak mengambil tindakan terhadap suatu kesalahan atau kejahatan yang sedang terjadi.
Berikut beberapa aspek terkait pembiaran :
1. Sikap tidak peduli.
Pembiaran menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap suatu masalah atau kejadian, bahkan ketika ada potensi dampak negatif yang bisa dicegah.
2. Keterkaitan dengan hukum.
Dalam beberapa kasus, pembiaran bisa menjadi tindak pidana, terutama jika ada kewajiban hukum untuk mencegah atau melaporkan suatu tindakan.
Contoh dalam hukum :
- Pembiaran korupsi.
Jika atasan mengetahui bawahannya melakukan korupsi tetapi tidak melaporkannya, atasan tersebut bisa dikenakan sanksi hukum.
- Pembiaran kejahatan.
Seseorang yang mengetahui adanya kejahatan yang akan terjadi dan memiliki kesempatan untuk mencegahnya tetapi tidak melakukannya, bisa dianggap melakukan pembiaran.
3. Politik Pembiaran.
Istilah ini juga merujuk pada kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang membatasi campur tangan dalam pemerintahan di Jawa dan Ambon, namun tidak di daerah lain.
4. Pembiaran dalam budaya.
Pembiaran juga bisa merujuk pada budaya atau sikap masyarakat yang memaklumi tindakan buruk atau kesalahan, bahkan ketika tindakan tersebut merugikan orang lain.
Pembiaran bisa terjadi dalam berbagai konteks, baik dalam lingkup pribadi, sosial, maupun hukum. Penting untuk memahami dampaknya dan mengambil tindakan yang tepat jika memang ada kewajiban untuk melakukannya.
Pembiaran Konteks Hukum.
Pembiaran dalam konteks hukum dapat berarti membiarkan suatu perbuatan, baik itu tindak pidana atau pelanggaran hukum lainnya, terjadi tanpa upaya untuk mencegah atau menindakinya. Dalam beberapa kasus, pembiaran itu sendiri bisa menjadi tindakan yang melanggar hukum dan dapat dikenai sanksi.
Pembiaran dalam Hukum Pidana.
1. Pasal-pasal yang Berkaitan.
Beberapa pasal dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) mengatur tentang pembiaran, seperti Pasal 304 (menempatkan/membiarkan orang dalam keadaan sengsara) dan pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Contoh Kasus :
- Seorang atasan yang mengetahui bawahannya melakukan korupsi namun tidak melaporkannya, dapat dikenai sanksi sebagai pelaku pembiaran tindak pidana korupsi.
- Seseorang yang membiarkan anak di bawah umur melakukan tindakan yang membahayakan dirinya atau orang lain, dapat dianggap melanggar hukum.
- Pembiaran atas tindakan bullying atau kekerasan terhadap anak juga bisa dikenai sanksi hukum.
Pembiaran dalam Konteks Lain :
1. Pembiaran dalam Tindakan Perdata.
Pembiaran juga dapat menjadi dasar gugatan perdata, misalnya dalam kasus perbuatan melawan hukum yang merugikan pihak lain.
2. Pembiaran dalam Aspek Hukum Bisnis.
Dalam studi kelayakan bisnis, aspek hukum mencakup analisis legalitas usaha, bentuk badan hukum, dan pemenuhan perizinan. Pembiaran dalam aspek ini bisa berarti kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukum yang berpotensi merugikan bisnis itu sendiri.
Tanggung Jawab dan Sanksi.
- Tanggung jawab atas pembiaran bisa berbeda-beda tergantung pada kasusnya, bisa melibatkan individu, atasan, atau bahkan lembaga.
- Sanksi yang dikenakan juga bervariasi, mulai dari pidana penjara, denda, hingga ganti rugi perdata.
Pentingnya Penegakan Hukum.
- Penegakan hukum yang efektif sangat penting untuk mencegah pembiaran dan memastikan bahwa setiap pelanggaran hukum ditindak secara adil.
- Perlindungan hukum terhadap korban, kepastian hukum, dan independensi lembaga penegak hukum adalah aspek penting dalam penegakan hukum.
Pembiaran Kejahatan.
Pembiaran kejahatan adalah tindakan tidak mencegah atau tidak melaporkan suatu tindak pidana yang diketahui sedang terjadi, atau yang sudah terjadi dan diketahui pelakunya. Dalam hukum, pembiaran ini bisa dianggap sebagai bentuk keikutsertaan dalam kejahatan, terutama jika ada kewajiban untuk mencegah atau melaporkan.
Detailnya :
1. Definisi Pembiaran Kejahatan.
Pembiaran kejahatan bisa berupa ketidakpedulian atau sikap diam terhadap suatu tindak pidana yang sedang berlangsung atau telah terjadi. Ini bisa terjadi ketika seseorang memiliki kewajiban untuk mencegah atau melaporkan kejahatan, namun tidak melakukannya.
2. Keterkaitan dengan Tindak Pidana.
Dalam beberapa kasus, pembiaran bisa dianggap sebagai bentuk keikutsertaan dalam kejahatan. Jika seseorang memiliki kewajiban hukum untuk mencegah atau melaporkan kejahatan, namun tidak melakukannya, mereka bisa dianggap turut serta dalam kejahatan tersebut.
Contoh :
- Seorang pemilik toko yang membiarkan pencurian terjadi di tokonya tanpa mencoba mencegah atau melaporkannya.
- Seseorang yang mengetahui ada perbuatan pidana yang akan terjadi, tetapi tidak melaporkannya kepada pihak berwenang.
- Seorang pejabat yang mengetahui adanya korupsi, tetapi tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikannya.
Konsekuensi Hukum.
Pembiaran kejahatan dapat memiliki konsekuensi hukum. Dalam beberapa kasus, pelaku pembiaran bisa dijerat dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan tindak pidana yang dibiarkan, atau dengan pasal-pasal yang mengatur tentang kewajiban untuk mencegah atau melaporkan kejahatan.
Kewajiban Melaporkan.
Dalam hukum, ada kewajiban bagi setiap orang untuk melaporkan kejahatan tertentu, terutama jika kejahatan tersebut mengancam nyawa atau keselamatan orang lain. Kegagalan untuk melaporkan kejahatan dalam situasi seperti ini dapat dianggap sebagai pembiaran dan dapat dikenai sanksi hukum.
Penting Untuk Diingat.
Membiarkan kejahatan terjadi, terutama jika ada kewajiban untuk mencegah atau melaporkannya, dapat berakibat buruk bagi korban, masyarakat, dan juga bagi pelaku pembiaran itu sendiri.
Penting untuk memiliki kesadaran hukum dan moral untuk tidak membiarkan kejahatan terjadi, dan untuk melaporkannya kepada pihak berwenang jika mengetahui adanya tindak pidana.
Pasal Pembiaran Kejahatan.
Membiarkan terjadinya kejahatan dapat dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum, tergantung pada konteks dan situasi spesifiknya. Ada beberapa pasal dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang relevan dengan situasi ini, seperti pasal tentang pembiaran, pertolongan jahat, atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian.
Membiarkan terjadinya kejahatan dapat dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum, tergantung pada konteks dan situasi spesifiknya. Ada beberapa pasal dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang relevan dengan situasi ini, seperti pasal tentang pembiaran, pertolongan jahat, atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian.
Berikut beberapa hal penting terkait pembiaran kejahatan :
- Pasal 221 KUHP.
Pasal ini mengatur tentang perbuatan menyembunyikan, menolong untuk menghindarkan diri dari penyidikan atau penahanan, serta menghalangi atau mempersulit penyidikan atau penuntutan terhadap orang yang melakukan kejahatan.
- Pasal 304 KUHP.
Pasal ini mengatur tentang tindak pidana menempatkan/membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara.
- Pasal 421 KUHP dan UU Tipikor.
Jika seorang pejabat menyalahgunakan kekuasaan dan membiarkan terjadinya korupsi, ia bisa dikenakan pasal dalam UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) yang merujuk pada Pasal 421 KUHP.
- Pasal penyertaan (Pasal 56 KUHP).
Seorang atasan yang mengetahui dan membiarkan korupsi terjadi namun tidak melaporkannya juga dapat dikenakan pasal penyertaan tindak pidana.
- Pasal 359 KUHP dan Pasal 474 ayat (3) UU 1/2023.
Pasal-pasal ini mengatur tentang kelalaian yang mengakibatkan kematian.
Penting untuk dicatat bahwa "membiarkan kejahatan terjadi" bisa memiliki arti yang berbeda-beda tergantung pada konteksnya. Apakah itu berarti membiarkan tindak pidana terjadi, menyembunyikan pelaku kejahatan, atau tidak melaporkan kejahatan yang diketahui. Oleh karena itu, penerapan pasal-pasal hukum akan sangat bergantung pada fakta dan bukti yang ada dalam setiap kasus.
Penting untuk dicatat bahwa "membiarkan kejahatan terjadi" bisa memiliki arti yang berbeda-beda tergantung pada konteksnya. Apakah itu berarti membiarkan tindak pidana terjadi, menyembunyikan pelaku kejahatan, atau tidak melaporkan kejahatan yang diketahui. Oleh karena itu, penerapan pasal-pasal hukum akan sangat bergantung pada fakta dan bukti yang ada dalam setiap kasus.
Tidak Melaporkan Tindak Pidana.
Tidak melaporkan tindak pidana yang diketahui bisa memiliki konsekuensi hukum, terutama jika tindak pidana tersebut termasuk dalam kategori yang diwajibkan untuk dilaporkan. Meskipun tidak ada kewajiban umum untuk melaporkan semua tindak pidana, ada beberapa situasi di mana seseorang bisa terjerat hukum karena tidak melaporkan kejahatan yang diketahui.
Konsekuensi Hukum :
1. Pasal 220 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Barang siapa dengan sengaja memberitahukan atau mengadukan suatu peristiwa pidana, padahal mengetahui bahwa peristiwa itu tidak benar, dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, menurut Hukumonline.
2. Pasal 361 UU 1/2023.
Pasal ini mengatur tentang tindak pidana membuat laporan palsu atau mengadukan peristiwa pidana yang tidak benar.
3. Pasal 108 ayat (2) KUHAP.
Setiap orang yang mengetahui adanya permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
4. Pasal 55 ayat (1) KUHP (Tentang Penyertaan).
Jika seseorang mengetahui adanya tindak pidana dan tidak melaporkan, serta turut serta dalam tindak pidana tersebut, misalnya membantu menyembunyikan pelaku atau barang bukti, maka ia bisa dianggap sebagai pelaku tindak pidana tersebut.
5. Kewajiban Pejabat.
Pejabat pemerintah memiliki kewajiban untuk melaporkan tindak pidana yang diketahui dalam pelaksanaan tugasnya.
Situasi yang Mungkin Memicu Kewajiban Melapor :
1. Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan:
2. Jika seseorang mengetahui adanya permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang mengancam jiwa, keamanan umum, atau hak milik, maka ia wajib melaporkannya.
3. Kejahatan yang Mengancam Jiwa.
Jika seseorang mengetahui adanya kejahatan yang dapat membahayakan nyawa orang lain dan masih ada waktu untuk mencegahnya, ia wajib melaporkannya.
4. Tindak Pidana yang Berdampak Luas.
Beberapa jenis tindak pidana, seperti terorisme atau kejahatan serius lainnya, mungkin memerlukan kewajiban pelaporan yang lebih luas.
Penting untuk diingat bahwa :
1. Kewajiban Melapor Tidak Mutlak.
Tidak semua tindak pidana mengharuskan pelaporan. Namun, dalam situasi tertentu, seperti yang dijelaskan di atas, kewajiban melapor menjadi penting untuk penegakan hukum.
2. Partisipasi Masyarakat.
Masyarakat diharapkan berperan aktif dalam melaporkan tindak pidana untuk membantu penegakan hukum dan menciptakan keamanan bersama.
Hak dan Kewajiban Melaporkan Tindak Pidana.
Jika orang yang mengetahui tapi tidak melaporkan tersebut sebagai saksi.
Pasal 1 angka 26 KUHAP jo. Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 (hal. 92) :
- Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Sementara itu, bunyi Pasal 108 ayat (1) KUHAP mengatur tentang setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan/atau menjadi korban tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan/atau penyidik baik lisan maupun tertulis.
Berdasarkan klausul pasal di atas, maka melaporkan tindak pidana hanya merupakan hak. Namun, pada ayat selanjutnya disebutkan setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik.
Walaupun melapor merupakan suatu hak dan kewajiban, namun KUHAP tidak mengatur sanksi jika seseorang tidak melapor telah terjadinya tindak pidana. Peraturan yang tidak diikuti sanksi atau akibat hukum dalam teori disebut sebagai lex imperfecta atau peraturan tidak sempurna. Dalam lex imperfecta, peraturan melarang atau sebaliknya memerintahkan dilakukannya suatu perbuatan tetapi pelanggaran terhadap peraturan itu tidak diancam dengan sanksi atau akibat hukum.[1]
Dugaan Obstruction of Justice.
Selanjutnya membahas kemungkinan orang mengetahui tapi tidak melaporkan tersebut ikut terlibat dalam tindak pidana pembunuhan. Setidaknya ada dua ketentuan pidana yang bisa menjerat pelaku, yaitu Pasal 221 KUHP mengenai kejahatan menyembunyikan orang yang melakukan tindak pidana sekaligus dianggap menghalang-halangi proses peradilan dan Pasal 55 ayat (1) KUHP mengenai orang yang turut serta melakukan (mede plegen) tindak pidana.
Pasal 221 KUHP menyebutkan tindakan sebagai berikut diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[2]
- Barangsiapa dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau yang dituntut karena kejahatan, atau barangsiapa memberi pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
- Barangsiapa setelah dilakukan suatu kejahatan dan dengan maksud untuk menutupinya, atau untuk menghalang-halangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutannya, menghancurkan, menghilangkan, menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan dilakukan atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
Bunyi pasal tersebut di atas mengatur mengenai obstruction of justice atau menghalang-halangi proses peradilan. Tindakan menghalang-halangi proses hukum tidaklah mengharuskan bahwa perbuatan tersebut telah mengakibatkan suatu proses hukum menjadi terhambat oleh perbuatan pelaku, melainkan hanya diisyaratkan dengan maksud atau niat (intend) dari pelaku untuk menghalang-halangi proses hukum.[3]
Selain dianggap menghalang-halangi proses peradilan, orang yang tidak melapor tindak pidana pembunuhan bisa juga diduga terlibat penyertaan dalam pembunuhan sebagaimana diatur Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Hoge raad dalam arrest-nya meletakkan dua kriteria tentang adanya bentuk turut serta, yaitu : [4]
- antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi;
- para peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan.
Kerja sama yang diinsyafi adalah syarat subjektif, tidak perlu berupa permufakatan yang formal, tetapi cukup adanya saling pengertian antar mereka dalam mewujudkan perbuatan.[5] Tentang syarat kedua, bahwa mereka bersama-sama melaksanakan tindak pidana adalah syarat objektif. Perbuatan pembuat peserta sedikit atau banyak ada perannya atau andilnya atau sumbangannya bagi terwujudnya tindak pidana yang sama-sama dikehendaki.[6]
Dengan demikian, tinggal nantinya dibuktikan dalam penyidikan apakah orang yang mengetahui tapi tidak melaporkan pembunuhan dan membiarkannya terjadi tersebut hanya sebagai saksi yang tidak ada sanksinya jika tidak melapor atau sebagai pelaku turut serta yang terlibat tindak pidana pembunuhan, sehingga dapat diberikan sanksi pidana Pasal 221 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Demikian rangkuman artikel tentang pembiaran dari kami terkait orang yang mengetahui tapi tidak melaporkan tindak pidana, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum :
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.
Sumber Referensi :
- Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 7, 2021
- Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis. Pengantar Ilmu Hukum, Cet.3. Jakarta: Rajawali Pers, 2016
- Shinta Agustina, dkk. Obstruction of Justice (Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum dalam Upaya Pemberantasan Korupsi). Jakarta: Themis Books, 2015
Putusan :
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.
- [1] Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis. Pengantar Ilmu Hukum, Cet.3. Jakarta: Rajawali Pers, 2016, hal. 18
- [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
- [3] Shinta Agustina, dkk. Obstruction of Justice (Tindak Pidana Menghalangi Proses Hukum dalam Upaya Pemberantasan Korupsi). Jakarta: Themis Books, 2015, hal. 10
- [4] Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 7, 2021, hal. 102
- [5] Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 7, 2021, hal. 104
- [6] Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana bagian 3 (Percobaan dan Penyertaan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. 7, 2021, hal. 105
Jika pembaca artikel yang Budiman mengetahui adanya tindak pidana, disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli hukum atau penegak hukum untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang kewajiban pelaporan yang berlaku dalam situasi tertentu.
Dirangkum oleh POINT Consultant

