Unsur Mens Rea Dalam Praktik Peradilan
Dalam praktiknya, mens rea harus dibuktikan bersamaan dengan actus reus atau perbuatan fisik yang melawan hukum. Kini, unsur mens rea diatur dalam Pasal 36 ayat (1) KUHP Nasional yang mencerminkan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.
Contoh kasusnya :
Pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong masih menjadi perbincangan di tengah sorotan publik atas putusan pengadilan yang pernah menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara terhadap dirinya. Meski Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan terbukti bersalah, tapi anehnya Tom Lembong dinyatakan tidak terbukti memiliki mens rea (niat jahat), serta tidak menikmati keuntungan pribadi dari kebijakan yang ia ambil.
Bahkan, meski pemberian abolisi sudah diterima dan diiringi pembebasan Tom Lembong dari tahanan, putusan yang bernuansa kontroversial tersebut sudah dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA). KY sendiri segera menganalisis laporan Tom Lembong terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh majelis hakim yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun kepada dirinya dalam kasus korupsi importasi gula.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Prof. Mahfud MD, seseorang dapat dijerat sebagai tersangka kasus korupsi apabila memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
"Untuk menghukum seseorang, selain actus reus (perbuatan pidana), masih harus ada mens rea atau niat jahat. Dalam konteks vonis Tom Lembong ini, ternyata tidak ditemukan mens rea atau niat jahat," ujar Mahfud kepada media beberapa waktu lalu.
Mens rea dalam hukum pidana adalah sikap batin, niat, atau keadaan mental dari pelaku tindak pidana pada saat melakukan perbuatan pidana tersebut. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), pertanggungjawaban pidana hanya dapat dimintakan atas tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan, yang keduanya merupakan bentuk mens rea.
Dalam praktiknya, mens rea harus dibuktikan bersamaan dengan actus reus (perbuatan fisik yang melawan hukum), sebagaimana ditegaskan dalam doktrin dan yurisprudensi, agar seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 menyebutkan setiap orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan, sehingga mens rea menjadi syarat mutlak dalam pembuktian tindak pidana. Jika hanya terdapat niat jahat tanpa perbuatan (actus reus), atau sebaliknya pertanggungjawaban pidana tidak dapat dikenakan.
Dalam praktiknya, mens rea harus dibuktikan bersamaan dengan actus reus atau perbuatan fisik yang melawan hukum. Kini, unsur mens rea diatur dalam Pasal 36 ayat (1) KUHP Nasional yang mencerminkan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.
Dengan begitu, masih menurut Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, terdapat dua jenis utama mens rea dalam hukum pidana Indonesia yaitu kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa).
Kesengajaan atau dolus merupakan apabila seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana jika melakukan tindak pidana dengan sengaja. Artinya pelaku memiliki niat atau kehendak untuk melakukan perbuatan pidana tersebut.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (1) KUHP Nasional yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dimintakan atas tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, serta didukung oleh doktrin mens rea sebagai sikap batin, niat, atau keadaan mental pelaku pada saat melakukan tindak pidana.
Selain kesengajaan, pertanggungjawaban pidana juga dapat timbul karena kealpaan atau culpa yaitu kelalaian atau kurang hati-hati yang menyebabkan terjadinya tindak pidana. Namun, tindak pidana karena kealpaan hanya dapat dipidana jika unsurnya secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP.
Meskipun demikian, tidak semua tindak pidana membutuhkan pembuktian niat secara langsung. Dalam beberapa kasus, seperti kejahatan tanpa korban (victimless crime) atau pelanggaran administratif, unsur mens rea tidak selalu relevan. Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran dalam penerapan mens rea dalam kasus-kasus tertentu, terutama yang berkaitan dengan peraturan yang lebih teknis
Dalam konteks pembuktian, niat pelaku seringkali menjadi tantangan tersendiri bagi penegak hukum. Niat atau kesengajaan merupakan sesuatu yang sifatnya subjektif dan tersembunyi dalam pikiran pelaku.
Oleh karena itu, pembuktian niat harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat, seperti pernyataan saksi, alat bukti fisik, dan perilaku pelaku sebelum, selama, dan setelah tindak pidana dilakukan. Hakim harus menilai apakah pada saat perbuatan dilakukan, pelaku memiliki sikap batin atau niat tertentu yang memenuhi unsur pidana.
Dalam praktik, seringkali terdakwa dibebaskan jika unsur mens rea tidak terbukti, meskipun perbuatan pidana (actus reus) telah terjadi. Hal ini membuat proses pembuktian menjadi lebih rumit dan memerlukan kecermatan.
Sumber Referensi :
Hukumonline.com
Reposting by POINT Consultant

