Status Penghuni Tanah Eigendom Verponding
Status penghuni tanah eigendom verponding di Indonesia tidak lagi diakui sebagai hak milik sah dan statusnya menjadi tidak jelas atau rawan sengketa setelah adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Agar memiliki kepastian hukum, tanah tersebut harus dikonversi menjadi sertifikat hak atas tanah baru, seperti Hak Milik (HM) atau Hak Guna Bangunan (HGB), melalui permohonan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Status dan konsekuensi tanah eigendom verponding
- Status hukum tidak jelas: Eigendom verponding tidak lagi diakui secara otomatis sebagai hak milik dan suratnya hanya menjadi dokumen historis.
- Tidak sah untuk transaksi: Surat Eigendom tidak bisa digunakan untuk transaksi jual beli legal di hadapan PPAT atau dijadikan agunan kredit bank.
- Rawan sengketa: Status tanah yang tidak jelas ini rentan menimbulkan sengketa kepemilikan dengan pihak lain, terutama jika sudah ada Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan.
- Berpotensi menjadi tanah negara: Jika tidak dikonversi, tanah tersebut berisiko dianggap sebagai tanah negara, terutama jika tidak ada pemanfaatan yang jelas sesuai asas fungsi sosial.
Cara mengamankan status kepemilikan
- Konversi ke BPN: Pemilik dapat mengajukan permohonan konversi ke BPN untuk mengubah statusnya menjadi Hak Milik (HM) atau Hak Guna Bangunan (HGB).
- Persiapan dokumen: Pemilik harus menyiapkan surat bukti eigendom verponding asli dan menyerahkannya ke Kantor Pertanahan saat mengajukan permohonan.
- Pengecekan awal: Sebelum mengurus konversi, disarankan untuk mengecek status eigendom verponding di Kantor Pertanahan setempat untuk memastikan keberadaannya terdaftar secara resmi.
Peraturan utama mengenai eigendom verponding adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa hak eigendom harus dikonversi menjadi hak milik sesuai hukum Indonesia. Konversi ini harus dilakukan paling lambat 20 tahun setelah UUPA berlaku (yaitu, sebelum September 1980). Jika tidak dikonversi, status hak tanahnya menjadi lemah dan berisiko disengketakan, karena eigendom verponding tidak lagi diakui sebagai hak kepemilikan yang sah, seperti ditegaskan oleh Kementerian ATR/BPN.
BACA JUGA :
EIGENDOM VERPONDING
.
Dasar hukum utama :
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA): Mengatur bahwa hak eigendom dikonversi menjadi hak milik, kecuali jika pemilik tidak memenuhi syarat.
- PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah: Mengatur mekanisme konversi hak lama, termasuk eigendom, menjadi hak yang diakui melalui pendaftaran tanah.
Konsekuensi jika tidak dikonversi
- Kehilangan kekuatan hukum: Surat eigendom verponding tidak lagi diakui sebagai bukti kepemilikan yang sah dan hanya berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak.
- Risiko sengketa: Status hukum yang tidak jelas membuat tanah mudah disengketakan, dan memungkinkan pihak lain mengklaimnya.
- Tidak dapat diagunkan ke bank: Karena tidak memiliki kekuatan hukum yang sah, eigendom verponding tidak dapat dijadikan jaminan kredit di bank.
Cara konversi
- Proses pendaftaran: Konversi dilakukan melalui pendaftaran hak lama di Kantor Pertanahan setempat.
- Dokumen yang dibutuhkan: Bukti tertulis, surat peta tanah, surat ukur, dan surat eigendom asli atau salinan, serta keterangan saksi.
- Proses validasi: Panitia ajudikasi atau Kepala Kantor Pertanahan akan memverifikasi kebenaran bukti-bukti tersebut untuk mendaftarkan hak milik.
Permasalahan Tanah Eigendom
Permasalahan tanah eigendom umumnya mencakup sengketa kepemilikan, ketidakjelasan status hukum karena tidak selesainya proses pendaftaran atau konversi hak, serta konflik akibat pengambilalihan tanah oleh negara atau pihak lain tanpa ganti rugi yang memadai. Tanah eigendom yang tidak dikonversi menjadi hak lain sebelum batas waktu 1980 pada akhirnya menjadi tanah negara.
Penyebab utama sengketa
- Status hukum yang tidak jelas: Banyak tanah eigendom peninggalan Belanda belum menyelesaikan proses pendaftaran di Indonesia, sehingga menimbulkan ketidakpastian hak kepemilikan.
- Konversi hak yang tidak selesai: Setelah 1980, hak eigendom yang tidak dikonversi menjadi hak lain seperti Hak Guna Bangunan (HGB) dianggap hapus dan jatuh menjadi tanah negara.
- Pengambilalihan tanpa ganti rugi: Pemerintah atau pihak lain sering mengambil alih tanah eigendom untuk pembangunan tanpa memberikan ganti rugi yang sesuai dengan ketentuan undang-undang.
- Klaim ganda: Terjadi konflik ketika tanah yang sudah menjadi kawasan padat penduduk namun diklaim kembali oleh perusahaan negara (misalnya Pertamina) berdasarkan aset nasionalisasi dari masa Belanda.
Dampak dan akibatnya
- Tidak bisa diperjualbelikan secara legal: Surat eigendom tidak memiliki kekuatan hukum untuk transaksi legal di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
- Tidak bisa dijadikan agunan bank: Bank tidak menerima surat eigendom sebagai jaminan kredit.
- Penangguhan proses sertifikat: Pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunda sementara proses pendaftaran sertifikat tanah untuk menghindari sengketa lebih lanjut.
Penyelesaian masalah
- Mediasi: Beberapa kasus diatasi melalui mediasi antara warga dan pemerintah daerah.
- Peninjauan hukum: Penyelesaian sengketa ini harus dilakukan melalui peninjauan aspek hukum, baik dari sisi yuridis maupun empiris.
Sejak berlakunya UUPA, hak Eigendom dikonversi (diubah status haknya) menjadi Hak Guna Bangunan dengan jangka waktu selama 20 tahun. Hak Eigendom ini menjadi Hak Guna Bangunan berakhir pada 24 September 1980. Jika sampai 24 September 1980, Hak Eigendom ini tidak dikonversi menjadi HGB, maka Hak Eigendom menjadi hapus dan tanahnya kembali menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Eigendom merupakan istilah yang dikenal dalam hukum kebendaan perdata barat, yang bermakna “hak milik”. Eigen berarti diri atau pribadi, dom merujuk pada kata Dominium yang diartikan sebagai hak milik, sehingga Eigendom dapat diartikan merupakan Hak Milik pribadi. Pasal 570 Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata): “Hak Milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Semuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan perundang-undangan.” Verponding menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 1953 Tentang Penetapan "Undang-Undang Darurat Nomor 15 Tahun 1952, Untuk Pemungutan Pajak Verponding Untuk Tahun-Tahun 1953 Dan Berikutnya" (Lembaran-Negara Nomor 90 Tahun 1952) Sebagai Undang-Undang yaitu “Dengan nama verponding dikenakan suatu pajak atas harta tetap sebagaimana disebut dalam Pasal 3 Ordonansi verponding 1928.”
Pada masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut “UUPA”), terdapat dualisme hukum agraria yang berlaku di Indonesia yaitu hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Hukum agraria adat berlaku bagi penduduk asli Indonesia yang tunduk pada hukum adat, sedangkan hukum agraria barat berlaku bagi penduduk Indonesia yang tunduk pada hukum perdata barat yaitu orang Belanda, orang Eropa, dan orang Timur Asing.
Hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria adat yaitu masing-masing daerah yang disebut tanah adat misalnya, tanah yasan, tanah gogolan, tanah kas desa, tanah pangonan (penggembalaan). Sementara hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria barat yaitu hak atas tanah yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpacht, recht van gebruit (hak pakai), dan bruikleen (hak pinjam pakai).
Tanah-tanah yang tunduk pada hukum agraria barat, maka dilakukan pendaftaran tanah pada kantor pendaftaran tanah (Overschrijvings Ambtenaar) berdasarkan pada Overschrijvings Ordenantie, Stb.1834 Nomor 27 kepada pemilik tanah diberikan tanda bukti hak yang disebut dengan sertifikat. Sedangkan tanah yang tunduk pada hukum agraria adat tidak dilakukan pendaftaran tanah, sehingga tidak memiliki tanda bukti kepemilikan. Bagi rakyat asli Indonesia (pribumi) berlaku hukum agraria adat sebagai perangkat hukum yang tidak tertulis, seperti kebiasaan masyarakat yang berlaku sebagai hukum. Sedangkan dalam hukum agraria barat perangkat hukumnya tertulis seperti yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek.
Dari segi pendaftaran tanah untuk hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat yaitu hak eigendom, hak opstal, dan hak erfpacht dilakukannya pendaftaran tanah tersebut agar dapat memberi jaminan kepastian hukum, pendaftaran tanah ini dinamakan Recht Cadaster. Sedangkan hak atas tanah hukum Agraria yang tunduk pada hukum adat yang tidak dilakukan pendaftaran tanah dan walaupun dilakukan pendaftaran tanah bukan untuk memberi jaminan kepastian hukum melainkan tujuannya hanya untuk menentukan siapa yang wajib membayar pajak atas tanah tersebut dan pendaftaran tanah ini dinamakan Fiscal Cadaster. Sering dengan dinamika perkembangan hukum pada masa kolonial, orang pribumi dapat mendaftarkan tanah adatnya pada pemerintahan kolonial dan diberikan hak yang disebut dengan Agrarisch Eigendom. Hal ini diatur secara khusus dalam ketentuan Pasal 51 ayat (7) Indische Staatsregelling, staatsblad 1870 No. 117.
Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, dualisme hukum agraria di Indonesia telah dihapuskan dan diganti dengan UUPA yang berlaku secara nasional serta hak atas tanah yang dimiliki oleh orang maupun badan hukum sebelum berlakunya UUPA dapat dikonversi sesuai dengan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA.
Terkait dengan ketentuan konversi hak-hak atas tanah lama ini seringkali menimbulkan polemik, terutama terkait dengan batas waktu untuk melakukan konversi Eigendom Verponding yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia asli. Sebagai contoh dalam Putusan Nomor 13/Pdt.G/2020/PN.Smd terdapat bukti yang diajukan Penggugat berupa Akte Hak Kepemilikan Tanah (Acta Recht van Eigendom), seluas 42,5 ha tertanggal 20 Maret 1940 atas nama Raden Moeja Wiranata Koesomah (pribumi) yang dibuat di hadapan J.W Roeloffss Valk, Notaris Batavia.
Terdapat fakta hukum bahwa ada orang pribumi yang memiliki Eigendom Verponding, lantas bagaimana kedudukan Eigendom Verponding yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia asli (pribumi)? Berdasarkan ketentuan Pasal I ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, yang mengatur bahwa :
“Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.”
Merujuk pada ketentuan Pasal ini, Eigendom Verponding yang dikuasai Warga Negara Indonesia tetap melekat hak kepemilikannya sesuai ketentuan Pasal I ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, tentang Hak Eigendom, sejak berlakunya (diundangkan) UUPA maka Hak Eigendom dapat dikonversi (diubah status haknya) menjadi Hak Milik dengan syarat pemilik Hak Eigendom memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 21 UUPA. Penegasan konversi (perubahan status haknya), Hak Eigendom ini menjadi Hak Milik tidak dibatasi jangka waktu tertentu sejak berlakunya UUPA, jika pemilik hak Eigendom adalah Warga negara Indonesia.
Prinsipnya Ketentuan Pasal I ayat (1) UUPA Ketentuan-ketentuan Konversi Jika Pemiliknya Warga Negara Indonesia Tidak Dibatasi Jangka Waktu.
Sedangkan dalam Ketentuan-ketentuan Konversi Pasal I ayat (2), (3), dan (4) UUPA
Pasal I ayat (2) ketentuan-ketentuan Konversi UUPA (Jika Pemiliknya Kepala Perwakilan dan Kedutaan Negara Lain).
Jika membahas ketentuan Pasal I ayat (2) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), jika pemilik Hak Eigendom adalah Kepala Perwakilan dan Kedutaan Negara Lain. Hak Eigendom, sejak berlakunya (diundangkan) UUPA dikonversi (diubah status haknya) menjadi Hak Pakai. Maka Penegasan konversi (perubahan status haknya) Hak Eigendom yang dimiliki oleh Kepala Perwakilan dan Kedutaan Negara Lain menjadi Hak Pakai dibatasi oleh jangka waktu selama 20 tahun sejak berlakunya UUPA, sehingga penegasan konversi (perubahan status haknya) Hak Eigendom ini menjadi Hak Pakai berakhir pada tanggal 24 September 1980.
Jika sampai dengan tanggal 24 September 1980, Hak Eigendom ini tidak dikonversi (diubah status haknya) menjadi Hak Pakai, maka Hak Eigendom menjadi hapus dan tanahnya kembali menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Pasal I ayat (3) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA (Jika Pemiliknya Warga Negara Asing atau Dwi Kewarganegaraan serta badan-badan hukum)
Berdasarkan ketentuan Pasal I ayat (3) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, jika pemilik Hak Eigendom, adalah :
1. warga negara asing, atau
2. orang yang memiliki dwi kewarganegaraan (berkewarganegaraan Indonesia dan warga negara asing), dan
3. badan-badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah.
Hak Eigendom, sejak berlakunya (diundangkan) UUPA dikonversi (diubah status haknya) menjadi Hak Guna Bangunan dengan jangka waktu selama 20 tahun. Konversi hak Eigendom ini menjadi Hak Guna Bangunan dibatasi jangka waktu selama 20 tahun sejak berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Penegasan konversi Hak Eigendom menjadi Hak Guna Bangunan berakhir pada tanggal 24 September 1980. Jika sampai dengan tanggal 24 September 1980, Hak Eigendom ini tidak dikonversi (diubah status haknya) menjadi Hak Guna Bangunan, maka Hak Eigendom menjadi hapus dan tanahnya kembali menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Pasal I ayat (4) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA (Jika Hak Eigendom dibebani hak opstal dan hak erfpacht)
Berdasarkan ketentuan Pasal I ayat (4) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, jika Hak Eigendom dibebani hak opstal dan hak erfpacht, maka Hak Eigendom dikonversi (diubah status haknya) menjadi Hak Guna Bangunan dengan jangka waktu selama 20 tahun. Penegasan konversi (perubahan status haknya) Hak Eigendom ini menjadi Hak Guna Bangunan dibatasi oleh jangka waktu selama 20 tahun sejak berlakunya UUPA, sehingga penegasan konversi (perubahan status haknya) Hak Eigendom ini menjadi Hak Pakai berakhir pada tanggal 24 September 1980.
Jika sampai dengan tanggal 24 September 1980, Hak Eigendom ini tidak dikonversi (diubah status haknya) menjadi Hak Guna Bangunan, maka Hak Eigendom menjadi hapus dan tanahnya kembali menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Penegasan konversi (perubahan status hak atas tanah) atas Eigendom Verponding diajukan oleh pemilik Eigendom Verponding atau melalui pemberian hak atas tanah negara atas tanah yang berasal dari tanah berstatus Eigendom Verponding diajukan oleh pemilik bekas Eigendom Verponding kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional RI melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Seiring dengan terjadinya dinamika perkembangan hukum agraria di Indonesia, maka berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah (PP 18/2021) pada tanggal 2 Februari 2021. Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) PP 18/2021 seluruh alat bukti tertulis tanah bekas hak barat dinyatakan tidak berlaku dan statusnya menjadi Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara.
Dengan demikian alat bukti tertulis bekas hak barat hanya dapat dijadikan petunjuk dalam pendaftaran Hak Atas Tanah untuk melakukan pendaftaran tanah bekas hak barat, maka wajib dibuat surat pernyataan penguasaan fisik yang diketahui 2 orang saksi dan bertanggung jawab secara perdata dan pidana yang menguraikan tanah tersebut adalah benar milik yang bersangkutan bukan milik orang lain dan statusnya adalah Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara bukan Tanah bekas milik adat; Tanah secara fisik dikuasai; dan penguasaan tersebut dilakukan dengan iktikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan.
Sumber Referensi :
- Artikel Michael Winters Wijaya, S.H., M.Kn., Associate di Michael Tappangan & Partners Law Firm
Reposting by POINT Consultant



